Sunday, January 19, 2014

MAKALAH PENGANTAR ILMU POLITIK “KEMISKINAN MENJADI AKAR MARAKNYA ANAK JALANAN”



BAB I
PENDAHULUAN



1.1         LATAR BELAKANG
Visi pembangunan nasional Indonesia, dewasa ini telah berusaha menempatkan manusia sebagai pusat perhatian.Pembangunan ekonomi diyakini harus sejalan dengan pembangunan sosial sehingga pertumbuhan ekonomi dapat menyumbang langsung terhadap peningkatan kualitas kesejahteraan sosial dan sebaliknya.Sayangnya pembangunan ekonomi mengalami distorsi yang cukup serius, sehingga pertumbuhan yang dicapai tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Salah satu masalah yang paling mencolok saat ini ialah masalah kemiskinan. Dimana kemiskinan pada gilirannya telah membawa dampak buruk, seperti peningkatan jumlah anak jalanan di kota-kota besar.Berdasarkan hasil survei danpemetaan sosial anak jalanan pada tahun 1999 yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial dengan dukungan Asia Development Bank, jumlah anak jalanan adalah 39.861 orang, yang tersebar di 12 kota besar. Pada tahun 2004, menurut Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, jumlah anak jalanan sebesar 98.113 orang, yang tersebar di 30 provinsi. Khusus di wilayah Bandung kurang lebih berjumlah 5.500 anak jalanan (Data Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, 2006) ; di wilayah Bogor 3.023 orang (Data Dinas Sosial Pemda Bogor, 2006) ; dan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta kurang lebih berjumlah 8.000 orang (Data Dinas Sosial DKI Jakarta, 2006).Dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah anak jalanan kurang lebih berkisar 154.861 jiwa. Dari jumlah tersebut, menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (2007), hampir separuhnya berada di DKI  Jakarta.
Kemiskinan pada pekerja anak usia dini berdampak negatif  pada kondisi fisik, mental dan intelektual mereka. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tenaga kerja anak umumnya tidak lagi sekolah atau bahkan tidak pernah sekolah dengan alasan tidak mampu sehingga mereka harus mencari nafkah demi membantu keluarga.Dikarenkan hal tersebut, anak yang bekerja memiliki tingkat kecerdasan yang tergolong di bawah rata-rata dan terbelakang (IQ kurang dari 70).Kerasnya hidup yang harus mereka jalani menyebabkan mereka matang sebelum waktunya.Dampak negatif pada pertumbuhan fisiknya juga berkaitan dengan kemiskinan yang mereka derita. Beban yang begitu besar diberikan pada mereka dalam usia yang masih sangat muda juga sangat berpengaruh pada kondisi psikologi mereka.


1.2         RUMUSAN MASALAH
1.  Bagaimanakah konsep kemiskinan itu?
2.  Bagaimanakah gambaran umum anak jalanan?
3.  Apakah permasalahan yang dihadapi anak jalanan?
4.  Apakah dampak yang ditimbulkan seiring meningkatnya anak jalanan?
























BAB II
LANDASAN TEORI



2.1         Definisi Kemiskinan
Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976).Dalam pengertian yang lebih luas kemiskinan adalah suatu keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup.Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.

Miskin adalah suatu keadaan seseorang yang mengalami kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat hidup yang paling rendah serta tidak mampu mencapai tingkat minimal dari tujuan‑tujuan yang telah ditetapkan.Tujuan tersebut dapat berupa konsumsi, kebebasan, hak mendapatkan sesuatu, menikmati hidup dan lain‑lain (Husen, 1993).

Di lain pihak Friedmann (1979), mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis kekuatan sosial meliputi modal yang produktif atau asset (misalnya, tanah, perumahan, peralatan, kesehatan dan lain‑lain); sumber‑sumber keuangan (income dan kredit yang memadai); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (partai politik, sindikat, kopera­si dan lain‑lain); jaringan sosial untukmemperoleh pekerjaan, barang‑barang dan lain‑lain; pengetahuan dan keterampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan anda.

De Vos (1991) juga memberikan pengertian kemiskinan berdasarkan be­berapa pendekatan, yaitu batasan secara absolut dan batasan relatif. Kemiskinan secara absolut memberikan pengertian keadaan seseorang dalam pemenuhan kebutuhan minimum untuk hidup tanpa melihat kondisi lingkungan masyarakat.Sedangkan pengertian kemiskinan relatif memberikan pengertian keadaan seseorang bila dibandingkan dengan kondisi masyarakatnya sering berpindah‑pindah lapangan pekerjaan dan sebahagian besar pendapatannya.

Dari segi sosial, kemiskinan penduduk dapat         juga disebutkan sebagai suatu  kondisi sosial yang sangat rendah, seperti penyediaan fasilitas kesehatan yang tidak mencukupi dan penerangan yang minim (Sumardi dan Dieter, 1985). Kondisi sosial lain dari penduduk miskin biasanya dicirikan oleh keadaan rumah tangga dimana jumlah anggota keluarga banyak, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga rendah, dan umumnya rumah tersebut berada di pedesaan (BPS, 2002).

Dari segi ekonomi, rumah tangga miskin dicirikan oleh jenis mata pencaharian pada sektor informal di pedesaan maupun di perkotaan, sering berpindah-pindah mata pencaharian dari produktivitas yang rendah sehingga menyebabkan pendapatan yang rendah. Karakteristik lain dari rumah tangga miskin adalah kecenderungan untuk menyediakan sebagian besar dari anggaran rumah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Alokasi pendapatan yang cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan merupakan cerminan adanya kemiskinan rumah tangga (Hasbullah, 1983).

Sekurang‑kurangnya ada dua pendekatan untuk memberikan pengertian tentang kemiskinan. Pertama adalah pendekatan absolut yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan fisik minimum, tolok ukur yang dipakai adalah kebutuhan minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang atau keluarga agar dapat melangsungkan hidupnya pada taraf yang layak. Pendekatan kedua adalah pendekatan relatif dimana kemiskinan ditentukan berdasarkan taraf hidupnya relatif dalam masyarakat (Suparlan, 1984).

Mubyarto (1990) mengungkapkan bahwa kemiskinan adalah manifestasi dari keadaan keterbelakangan masyarakat, dimana melalui upaya‑upaya pendidikan dan modernisasi, kemiskinan dan keterbelakangan akan berkurang. Selanjutnya menurut Esmara (1979), yang dimaksud dengan tingkat kemelaratan absolut lebih banyak ditujukan terhadap tingkat kehidupan penduduk secara absolut, baik yang diukur dengan pemakaian kalori, tingkat gizi, sandang, sanitasi, pendidikan, dan sebagainya.

Sajogyo (1988), mengartikan kemiskinan tidak sebatas hanya dicerminkan oleh rendahnya tingkat pendapatan dan pengeluaran. Sajogyo memandang kemiskinan secara lebih kompleks dan mendalam dengan ukuran delapan jalur pemerataan yaitu rendahnya peluang berusaha dan bekerja, tingkat pemenuhan pangan, sandang dan perumahan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kesenjangan desa dan kota, peran serta masyarakat, pemerataan, kesamaan dan kepastian hukum dan pola keterkaitan dari beberapa jalur tersebut.

Menurut Bappenas (2002), kemiskinan adalah suatu situasi dan kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

Biro Pusat Statistik (2002, dalam Syaefudin, 2003) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari.


2.2         Dimensi dan Klasifikasi Kemiskinan
Konsep kemiskinan merupakan suatu konsep yang multidimensional sehingga konsep kemiskinan tidak mudah untuk dipahami. Menurut Widodo, (2006:296) Kemiskinan paling tidak memiliki tiga dimensi, yaitu :
a) Kemiskinan politik.
Kemiskinan politik memfokuskan pada derajat akses terhadap kekuasaan (power).Yang dimaksud kekuasaan disini meliputi tatanan sistem sosial politik yang menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial dan menentukan alokasi sumber daya.

b) Kemiskinan sosial.
Kemiskinan sosial adalah kemiskinan karena kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapat kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Dengan kata lain kemiskinan sosial adalah kemiskinan yang disebabkan adanya faktor-faktor menghambat yang mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang tersedia.

c) Kemiskinan Ekonomi
Kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan kekurangan sumber daya (resources) yang digunakan    untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia pada kelompok ini dan membandingkannya dengan ukuran-ukuran baku. Sumber daya yang dimaksud dalam pengertian ini mencakup konsep ekonomi yang luas tidak hanya merupakan pengertian finansial, dalam hal ini kemampuan finansial keluarga untuk memenuhi kebutuhan, tetapi perlu mempertimbangkan semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


2.3         Faktor Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan merupakan sebuah konsep abstrak yang dapat dijelaskan secara berbeda dimana tergantung dari pengalaman dan perspektif analis.
Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang masuk kedalam kategori miskin. Namun, menurut World Bank setidaknya ada tiga faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu:
1. Rendahnya pendapatan dan aset untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti: makanan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan dan pendidikan.
2. Ketidakmampuan untuk bersuara dan ketiadaan kekuatan didepan institusi negara dan masyarakat.
3. Rentan terhadap guncangan ekonomi, terkait dengan ketidakmampuan menanggulanginya.

Sementara itu terdapat juga banyak faktor yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung tingkat kemiskinan, mulai dari produktivitas tenaga kerja, tingkat upah netto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi serta sumber daya alam, ketersediaan fasilitas umum (seperti pendidikan dasar, kesehatan, informasi, transportasi, listrik, air bersih dan lokasi pemukiman), penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, 25 budaya atau tradisi, politik, bencana alam dan peperangan. Sebagian besar dari faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (Tambunan, 2001).

Kartasasmita (1996) juga menjelaskan penyebab terjadinya kemiskinan dimana akibat dari berbagai faktor yang terdiri dari: pertama, rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan pengembangan diri yang terbatas. Kedua, rendahnya tingkat kesehatan dimana tingkat kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan daya tahan fisik, daya pikir serta prakarsa menjadi rendah pula. Dengan demikian produktivitas yang dihasilkan menjadi berkurang, baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Akibat dari hal ini adalah bargaining position mereka dalam hampir seluruh kegiatan ekonomi menjadi lemah. Ketiga, terbatasnya lapangan kerja. Selama lapangan pekerjaan atau kegiatan usaha masih ada, harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan masih dapat dilakukan. Keempat, kondisi keterisolasian. Dalam kondisi terpencil atau terisolasi penduduk akan kurang mampu menjalankan roda perekonomiannya.

Sedangkan menurut Sharp (1996) dari sudut pandang ekonomi terdapat tiga penyebab kemiskinan, antara lain:
1. Kemiskinan yang muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah.
2. Kemiskinan yang muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya mendapatkan upah yang rendah. Rendahnya kualitas sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau keturunan.
3. Kemiskinan yang muncul akibat perbedaan akses dalam modal


2.4       Definisi Anak Jalanan
Di Amerika selatan, tepatnya di Brazilia, istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak memiliki ikatan dengan keluarga. Berbeda lagi, misalnya di Columbia mereka disebut “gamin” (urchin atau melarat) dan “chinces” (kutu kasur), “marginais” (criminal atau marjinal) di Rio, “pa’jaros frutero” (perampok kecil) di Peru, “polillas” (ngrengat) di Bolivia, “resistoleros” (perampok kecil) di Honduras, “Bui Doi” (anak dekil) di Vietnam, “saligoman” (anak menjijikkan) di Rwanda.

Dalam buku “Intervensi Psikososial” (Depsos, 2001:20), anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.

Beberapa pengertian anak jalanan menurut beberapa ahli hukum, antara lain:
a.    Sandyawan memberikan pengertian bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang berusia maksimal 16 tahun, telah bekerja dan menghabiskan waktunya di jalanan.
b.    Peter Davies memberikan pemahaman bahwa fenomena anak-anak jalanan sekarang ini merupakan suatu gejala global. Pertumbuhan urbanisasi dan membengkaknya daerah kumuh di kota-kota yang paling parah keadaannya adalah di negara berkembang, telah memaksa sejumlah anak yang semakin besar untuk pergi ke jalanan ikut mencari makan demi kelangsungan hidup keluarga dan bagi dirinya sendiri.
c.    Menurut Soedijar (1989) dalam studynya menyatakan bahwa anak jalanan adalah anak usia antara 7 sampai 15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempet umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya sendiri. Seorang anak jalanan memiliki persepsi yang berbeda dengan persepsi anak normal mengenai hubungan dengan orang dewasa, tanggung jawab terhadap keluarga dan saudaranya, hubungan dengan lawan jenis, uang, pendidikan dan kepercayaan pada agama.
d.   Menurut Putranto dalam Agustin (2002) dalam studi kualitatifnya mendefinisikan anak jalanan sebagai anak berusia 6 sampai 15 tahun yang tidak bersekolah lagi dan tidak tinggal bersama orang tua mereka, dan bekerja seharian untuk memperoleh penghasilan di jalanan, persimpangan dan tempat-tempat umum.
Sementara itu, menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999), anak jalanan dibedakan menjadi empat kelompok yakni:
1.    Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya ( children of the street ). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh factor social psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka.
2.    Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka seringkali diindentikan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingga sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.
3.    Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran.
4.    Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.







BAB III
PEMBAHASAN



3.1         Konsep Kemiskinan
Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup seseorang atau kekeluarga.Kedua istilah itu menunjuk pada perbedaan sosial (social distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi pendapatan.Perbedaannya adalah bahwa pada kemiskinan absolut ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata (garis kemiskinan) dan atau indikator atau kriteria yang digunakan, sementara pada kemiskinan relatif kategori kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk.

3.1.1.     Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut atau mutlak berkaitan dengan standar hidup minimum suatu masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk garis kemiskinan (poverty line) yang sifatnya tetap tanpa dipengaruhi oleh keadaan ekonomi suatu masyarakat. Garis Kemiskinan (poverty line) adalah kemampuan seseorang atau keluarga memenuhi kebutuhan hidup standar pada suatu waktu dan lokasi tertentu untuk melangsungkan hidupnya. Pembentukan garis kemiskinan tergantung pada defenisi mengenai standar hidup minimum. Sehingga kemiskinan abosolut ini bisa diartikan dari melihat seberapa jauh perbedaan antara tingkat pendapatan seseorang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin.

Pada tahun 1976 International Labor Organization (ILO) menggunakan ukuran kebutuhan pokok untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin. Indikator-indikator kebutuhan pokok yang dimaksud adalah pangan, papan, sandang dan fasilitas umum seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan transportasi. Strategi yang digariskan oleh ILO tersebut menyebutkan adanya keharusan usaha langsung untuk memperbaiki nasib golongan yang paling miskin tanpa menunggu bekerjanya proses tetesan ke bawah (Bigsten, Anne dalam Gammel, Norman, dkk dalam Budi Jati, ibid: hal 229-230: Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Yayasan Agro Ekonomika, Kajian Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Era Otonomi Daerah, Jakarta, 2002, hal I-1).

World Bank (2008) menghitung tingkat dan jumlah penduduk miskin absolut dengan menggunakan ukuran tunggal yang seragam untuk semua negara. Di negara-negara sedang berkembang seseorang disebut miskin bila berpendapatan kurang dari $ US 1 per hari, dimana diperkirakan ada sekitar 1,2milyar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut. Sementara garis kemiskinan yang diukur berdasarkan ukuran $ US 2 juga telah dipublikasikan
dimana lebih dari 2 milyar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dolar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity) bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut. Garis kemiskinan di Indonesia secara luas digunakan pertama kali dikenalkan oleh Sajogyo pada tahun 1964 yang diukur berdasarkan konsumsi setara beras per tahun. Menurut Sajogyo terdapat tiga ukuran garis kemiskinan yaitu miskin, sangat miskin dan melarat yang diukur berdasarkan konsumsi per kapita per tahun setara beras sebanyak 480 kg, 360 kg dan 270 kg untuk daerah perkotaan dan 320 kg, 240 kg dan 180 kg untuk daerah pedesaan (Arndt,Pembangunan dan Pemerataan, hal 58, 1987). BPS menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin (head countindex) yaitu penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan berdasarkan data hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Garis kemiskinan yangmerupakan dasar penghitungan jumlah penduduk miskin dihitung dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) yaitu besarnya rupiah yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan atau lebih dikenal dengan garis kemiskinan makanan
dan non makanan. Garis kemiskinan makanan yang dimaksud adalah pengeluaran konsumsi
per kapita per bulan yang setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari. Sedangkan garis kemiskinan non makanan adalah besarnya rupiah untukmemenuhi kebutuhan non makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan,angkutan, pakaian dan barang atau jasa lainnya. Komponen garis kemiskinanmakanan adalah nilai rupiah yang dikeluarkan untuk memenuhi 52 komoditi makanan terpilih hasil Susenas modul konsumsi. Sedangkan garis kemiskinan nonmakanan adalah nilai rupiah dari 27 sub kelompok pengeluaran yang terdiri atas 51 jenis komoditi dasar non makanan di perkotaan dan 47 jenis komoditi dipedesaan.

Dapat disimpulkan secara umum bahwa kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan suatu keluarga dalam membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan taraf hidup kemanusiaan yang paling rendah.Oleh karena itu, penelitian ini selanjutnya mengacu kepada defenisi kemiskinan tersebut.

3.1.2.     Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk pada perbedaan relatif tingkat kesejahteraan antar kelompok masyarakat. Mereka yang berada dilapis terbawah dalam persentil derajat kemiskinan suatu masyarakat digolongkan sebagai penduduk miskin. Dalam kategori seperti ini, dapat saja mereka yang digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah dapat mencukupi hak dasarnya, namun tingkat keterpenuhannya berada dilapisan terbawah. Kemiskinan relatif memahami kemiskinan dari dimensi ketimpangan antarkelompok penduduk. Pendekatan ketimpangan tidak berfokus pada pengukuran garis kemiskinan, tetapi pada besarnya perbedaan antara 20 atau 10 persenmasyarakat paling bawah dengan 80 atau 90 persen masyarakat lainnya. Kajian yang berorientasi pada pendekatan ketimpangan tertuju pada upaya memperkecil perbedaan antara mereka yang berada dibawah (miskin) dan mereka yang makmur dalam setiap dimensi statifikasi dan diferensiasi sosial. Ketimpangan merupakan suatu permasalahan yang berbeda dengan kemiskinan. Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negaradan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

World Bank mengelompokkan penduduk kedalam tiga kelompok sesuaidengan besarnya pendapatan: 40 persen penduduk dengan pendapatan rendah, 40 persen penduduk dengan pendapatan menengah dan 20 persen penduduk denganpendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitungpersentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40 persen terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Kategori ketimpangan ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti berikut: Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan tinggi. Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara 12-17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan sedang. Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih dari 17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan rendah.


3.2         Penyebab Kemiskinan
Menurut Kuncoro (2000: 107) yang mengutip Sharp, penyebab kemiskinan adalah :
1.       Secara mikro kemiskinan minimal karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah;
2.       Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumber daya yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah.Rendahnya kualitas sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan;
3.       Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan merendahnya produktivitas sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi yang berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya. Logika berpikir ini dikemukakan oleh Nurkse dalam Kuncoro (2000: 107), yang mengatakan “a poor country is poor, because it is poor” (negara miskin itu miskin karena dia miskin)


3.3  Gambaran Anak Jalanan
3.3.1  Pengertian Anak Jalanan
Pengertian anak jalanan telah banyak dikemukakan oleh banyak ahli. Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya dijalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain. Anak jalanan tinggal di jalanan karena dicampakkan atau tercampakkan dari keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais sampah. Tidak jarang menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan lain. Anak jalanan lebih mudah tertular kebiasaan tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan penyalahgunaan obat.
Berdasarkan hasil kajian lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti dkk.eds : 1997) :

1.      Children on the street
Yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
2.      Children of the street
Yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh dijalankan, baik secara social maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekwensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab biasanya kekerasan atau lari dari rumah.
3.      Children from family of the street
Yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup dijalanan. Meski anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lai dengan segala resikonya (Blanc & Associate, 1990;Irwanto dkk,1995; Taylor & Veale, 1996). Salah satu cirri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak masih bayi bahkan sejak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai walau secara kwantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.


3.3.2      Karakteristik Anak Jalanan
Menurut penelitian Departemen Sosial dan UNDP di Jakarta dan Surabaya ( BKSN, 2002:2-4), anak jalanan dikelompokkan dalam emepat kategori :
1.  Anak jalanan yang hiup dijalanan,  dengankriteria :
     a.  Putus hubungan atau lama tidak lama ketemu dengan orang tuanya
b.  8-10 jam berada di jalanan unyuk “bekerja” (mengamen, mengemis,memulung) dan sisanya menggelandang / tidur.
     c.  Tidak lagi sekolah
       d.  Rata – rata berusia di bawah 14 tahun

2.         Anak jalanan yang bekerja, dengan kriteria :
            a.  Berhubungan tidak teraturdengan orang tuanya
            b.  8-16 jam berada di jalanan
            c.  Mengontrak kamar sendiri bersama teman, ikut orang tua/saudara umumnya didaerah kumuh
            d.  Tidak lagi sekolah
            e.  Pekerjaan :  penjual Koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir sepatu
            f.  Rata-rataberusia di bawah 16 tahun

3.         Anak yang rentan menjadi anak jalanan,  dengankriteria :
            a.  Bertemu teratur setiap hari  / tinggal dan tidur dengan keluarganya
            b.  4-5 jam bekerja di jalanan
            c.  Masih bersekolah
            d.  Pekerjaan :  penjual Koran, penyemir sepatu, pengamen, dll
            e.  Usia rata-rata di bawah 14 tahun

4.         Anak jalanan berusia diatas 16 tahun,  dengankriteria :
            a.  Tidak lagi berhubungan / berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya
            b.  8-24 jam bekerja di jalanan
            c.  tidur dijalanan atau di rumah orang tua
            d.  Sudah tamat SD atau SLTP, tapi sudah tidak bersekolah lagi
            e.  Pekerjaan :  calo, mencuci bis, menyemir, dll

Dalam buku “Standar Pelayanan Sosial Anak Jalanan melalui Rumah Singgah” (2002:13-15), Setiap rumah singgah boleh menentukan sendiri kategori anaka jalanan  yang didampingi. Kategori anak jalanan dapat disesuaikan dengan kondisi anak jalanan di masing-masing kota. Secara umum kategori anak jalanan sebagai berikut :
1.         Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan cirinya sebagai berikut :
     a.  Putus hubungan tau tidak lama bertemu dengan orang tuanya minimal setahun yang lalu
     b.  Berada di jalanan untuk bekerja dan menggelandang
     c.  Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper took, kolong jembatan, taman, terminal, stasiun, dll
     d.  Tidak bersekolah lagi

2.         Anak jalanan yang bekerja di jalanan, cirinya adalah :
            a.  Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni pulang secara periodik, misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka umumnya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan.
            b.  Berada di jalanan sekitar 8 s.d 12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16 jam
            c.  Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, dengan orang tua / saudara, atau di tempat kerjanya dijalan
            d.  Tidak bersekolah lagi

3.       Anak yang rentan menjadi anak jalanan, cirinya adalah :
          a.  Setiapm hari bertemu dengan orang tuanya (teratur)
          b.  Berada dijalanan sekitar 4 s.d 6 jam untuk bekerja
          c.  Tinggal dan tidur bersama orang tua / wali
          d.  Masih bersekolah

Lebih jelas dalam buku “Modul Pelatihan Rumah Singgah” (BKSN,2000:61-62) kategori dan karakteristik anak jalanan :
1.       Kelompok yang hidup dan bekerja di jalanan
          Karakteristiknya :
a.             Menghabiskan seluruh waktunya di jalanan
b.             Hidup dalam kelompok kecil atau perorangan
c.             Tidur diruang-ruang / cekungan dipertokoan, seperti : terminal, emper took, kolong jembatan dan pertokoan
d.            Hubungan dengan orang tuanya biasanya sudh putus
e.             Putus sekolah
f.              Bekerja sebagai : pemulung, ngamen, mengemis, semir, kuli angkut barang
g.             Berpindah pindah tempatnya

2.       Kelompok anak jalanan yang bekerja dijalanan dan masih pulang kerumah orang tua mereka setiap hari
          Karakteristiknya :
a.             Hubungan dengan orang tua masih ada tetapi tidak harmonis
b.             Sebagian besar dari mereka telah putus sekolah dan sisanya rawan untuk meninggalkan bangku sekolah
c.             Rata-rata pulang setiap hari atau seminggu sekali kerumah
d.            Bekerja sebagai :  pengemis, pengamen diperempatan, kernet, asongan Koran, dan ojek payung.

3.         Kelompok anak jalanan yang bekerja dijalanan dan pulang ke desanya antara 1 hingga 2 bulan sekali
Karakteristiknya :
a.       Bekerja dijalanan sebagai : pedagang asongan, menjual makanan keliling, kuli angkot barang
b.      Hidup berkelompok bersama dengan orang-orang yang berasal dari satu daerah dengan cara mengontrak rumah atau tinggal di sarana-sarana umum / tempat ibadah seperti masjid
c.       Pulang antara 1 hingga 3 bulan sekali
d.      Ikut membiayai keluarga didesanya
e.       Putus sekolah

4.       Anak remaja jalanan bermasalah (ABG)
            Karakteristiknya :
a.         Menghabiskan sebagian waktunya dijalanan
b.        Sebagian sudah putus sekolah
c.         Terlibat masalah narkotika dan obat-obatan lainnya
d.        Sebagian dari mereka melakukan pergaulan bebas, pada beberapa anak perempuan mengalami kehamilan dan mereka rawan untuk terlibat prostitusi
e.         Berasal dari keluarga yang tidak harmonis

Lebih rinci dalam buku “Intervensi Psikososial” (Depsos, 2001:23-24) karakteristik anak jalanan dibagi menjadi cirri-ciri fisik dan psikis anak jalanan sebagai berikut :
1.         Ciri Fisik
a.       Warna kulit kusam
b.      Rambut kemerah-merahan
c.       Kebanyakan berbadan kurus
d.      Pakaian tidak terurus
2.         Ciri Psikis
a.       Mobilitas tinggi
b.      Acuh tak acuh
c.       Penuh curiga
d.      Sangat sensitive
e.       Berwatak keras dan kreatif
f.       Semangat hidup tinggi dan berani menganggung resiko

          Lebih lanjut dijelaskan dalam buku tersebut, indikator anak jalanan :
1.         Usia bekisar antara 6 sampai dengan 18 tahun
2.         Intensitas hubungan dengan keluarga :
a.       Masih berhubungan seara teratur miniml bertemu sekali setiap hari
b.      Frekuensi berkomunikasi dengan keluarga sampai kurang
c.       Sama sekali tidak komunikasi dengan keluarga
3.         Waktu  yang dihabiskan dijalankan lebih dari 4 jam setiap hari
4.         Tempat tinggal :
a.       Tinggal bersama orang tua
b.      Tinggal berkelompok dengan teman-temannya
c.       Tidak mempunyai tempat tinggal
5.         Tempat anak jalanan sering dijumpai di : Pasar, terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalan atau jalan raya, pusat perbelanjaan atau mall, kendaraan umum (pengamen), tempat pembuangan sampah.
6.         Aktifitasuntuk jalanan : menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan Koran/majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkot, menyewakan payung, menjadi penghubung atau penjual jasa.
7.         Sumber dana dalam melakukan kegiatan : modal sendiri, modal kelompok, modal majikan / patron, stimulant / bantuan.
8.         Permasalahan :korban eksploitasi seks, rawan kecelakaan lalu lintas, ditangkap petugas, konflik dengan anak lain, terlibat tindak criminal, ditolak masyarakat lingkungannya.
9.         Kebutuhan anak jalanan :aman dalam keluarga, kasih saying, bantuan usaha, pendidikan, bimbingan ketrampilan, gizi dan kesehatan, hubungan harmonis dengan orangtua keluarga dan masyarakat.





3.4          Masalah yang Dihadapi Anak Jalanan
Mencermati perkembangan situasi anak jalanan beberapa tahun belakangan ini, Yayasan Setara mengidentifikasikan beberapa masalah yang menonjol, yaitu :
1.                  Kekerasan terhadap anak jalanan
      Berbagai penelitian, laporan program, hasil monitoring dan pemberitaan media massa telah banyak mengungkap situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan Semarang. Monitoring PAJS (1997) di kawasan Tugu Muda pada periode Juli-Desember 1996, mencatat dari 22 kasus kekerasan terhadap anak jalanan 19 kasus (86,3%) dilakukan oleh petugas keamanan (kepolisian, Satpol PP, dan TNI) yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka. Hal senada diungkap pula dalam laporan penelitian YDA (1997pengrusakan rumah singgah di kawasan Lemah Gempal pada tahun 1997 oleh sekelompok orang tak dikenal yang disusul dengan teror-teror terhadap anak jalanan (Info Jalanan, edisi khusus, September) yang menyatakan bahaya terbesar yang paling sering dialami anak jalanan adalah dikejar polisi di mana 91% anak yang pernah tertangkap mengaku mengalami penyiksaan (Permadi & Ardhianie –peny.; 1997). Selain kasus kekerasan yang dialami secara personal, kekerasan terhadap komunitas juga kerap terjadi.Warga Semarang mungkin masih teringat kasus penyerangan dan 1997).Setelah mengalami nasib buruk, anak-anak jalanan yang terhimpun dalam PAJS kembali menjadi korban kekerasan oleh negara melalui pernyataan pejabat Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang yang melarang PAJS untuk beraktivitas karena dianggap organisasi liar (Wawasan, 4 April 1998).Kasus kekerasan yang baru saja terjadi adalah pengusiran anak-anak jalanan dari rumah singgah oleh ketua LSM pengelolanya sendiri dan penyerangan sekelompok orang terhadap anak jalanan di Manggala di mana dua anak perempuan menjadi korban perkosaan kelompok tersebut (Aliansi; 2000).

2.                  Kekerasan dan eksploitasi seksual
    Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual.Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan.Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan. Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000b) dalam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan.Tak jarang perkosaan dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah pangris atau Jepang baris.Di kawasan Simpang Lima, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu. Lalu belum lama ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media massa mengenai dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap puluhan anak jalanan yang justru dilakukan oleh pendampingnya sendiri (lihat misalnya; Radar Semarang & Wawasan, 2 September 2000; Kompas, 4 September 2000).
Anak jalanan perempuan juga diketahui rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk tujuan seksual dan pornografi.Pada tahun 1997, YDA mencatat ada 8% anak jalanan di Semarang yang dilacurkan. Tahun berikutnya meningkat menjadi 28% (PSW Undip; 1998) dan meningkat lagi menjadi 46,4% (Shalahuddin, 2000b). Indikasi perdagangan anak untuk prostitusi dengan sasaran anak jalanan perempuan yang pernah dikemukakan oleh Setara (1999), pada perkembangannya indikasi tersebut semakin kuat. Hasil monitoring pada periode Januari-Juni 2000, Yayasan Setara mencatat ada 10 anak yang diperdagangkan ke daerah Batam dan Riau (Shalahuddin, -peny.;  2000a). Kasus pornografi terhadap anak jalanan diduga juga terjadi.Namun sejauh ini belum ada data-data yang mengungkapkan hal tersebut.

3.                  Seks bebas dan Perilaku seksual usia dini
            Seks bebas telah diketahui publik menjadi bagian dari kehidupan anak jalanan.Berbagai hasil penelitian anak jalanan yang ada semakin memperkuat pandangan semacam itu. Di Semarang, seks bebas sesama anak jalanan juga terjadi. YDA (1997) dalam penelitiannya melaporkan bahwa 31% anak jalanan Semarang pernah melakukan hubungan seksual dan cenderung berganti-ganti pasangan. Laporan penelitian Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000b) mengungkapkan bahwa dari 46 anak jalanan perempuan, 38 anak (67,8%) telah memiliki pengalaman seksual. 27 anak diantaranya memiliki kecenderungan berganti-ganti pasangan dan 26 anak diindikasikan berada dalam prostitusi.
Berdasarkan pengalaman selama berinteraksi dengan anak jalanan biasanya anak yang memiliki pengalaman seksual berumur 15 tahun ke atas. Namun, berdasarkan hasil monitoring dan investigasi Yayasan Setara pada awal tahun 2001, di salah satu kawasan  mulai muncul perilaku seksual aktif pada usia dini, yaitu di bawah 14 tahun. Setara mencatat ada 12 pasangan, dan satu pasangan diantaranya  masih memiliki hubungan sedarah.
Perilaku seks bebas menyebabkan anak jalanan rentan terhadap ancaman terinveksi PMS dan HIV/AIDS dan bagi anak jalanan perempuan resiko kehamilan menjadi tinggi.Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Yayasan Setara pada tahun 1999-2000 menjumpai 20 kasus anak terkena PMS dan beberapa diantaranya sudah parah.Sedangkan tingkat kehamilan anak jalanan perempuan cenderung mengalami peningkatan.Data yang tercatat, pada tahun 1999 diketahui 6 anak mengalami kehamilan dan pada tahun berikutnya meningkat menjadi 8 anak. Ada berbagai cara yang dilakukan oleh anak untuk menggugurkan kandungannya seperti, minum pil, pijat, jamu, dipukul-pukul perutnya dan berbagai cara yang tidak aman bagi mereka.

4.                  Penggunaan drugs
            Sebagian besar anak jalanan telah mengkonsumsi minuman keras, pil dan zat-zat adiktif lainnya secara rutin.Ini tidak terbatas pada anak jalanan laki-laki saja melainkan juga anak perempuan. Penelitian Setara (2000) mengungkapkan 62,5% anak jalanan perempuan mengkonsumsi minuman keras dan pil. Menurut Huijben (1999), hal yang mendorong mereka mengkonsumsi karena dianggap sebagai jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Selain itu sebagian anak menggunakannya untuk menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan.
Ada berbagai cara bagi mereka untuk mendapatkan drugs, seperti membeli, meminta, diberi dan merampas. Pada beberapa kasus,  anak mencoba mencari barang-barang yang murah, misalnya mengkonsumsi kecubung dan menghisap lem aica aibon. Mengenai penggunaan lem, berdasarkan pengamatan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak awal tahun 1997 terutama di kawasan Poncol. Dibandingkan dengan Bandung, jakarta dan Yogyakarta, yang menyebar dengan cepat ke berbagai lokasi anak jalanan, penyebaran di Semarang tidak cepat meluas. Hanya saja, sejak tahun 2000, penggunaan lem ini sudah menyebar di kawasan Simpang Lima dan pada tahun 2001 menyebar ke kawasan Tugu Muda.

5.                  Tindakan kriminal
            Tindakan kriminal yang dilakukan anak jalanan secara kuantitas tampaknya meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan bentuk yang lebih berani.Sebagai contoh, bila sebelumnya mereka hanya melakukan pemerasan sesama anak jalanan, kini mereka sudah berani melakukan pemerasan, penodongan dan pencopetan ke masyarakat. Mengamati pemberitaan media massa, sejak tahun 2000 kerapkali diberitakan adanya anak jalanan yang ditangkap akibat melakukan tindakan kriminal.
Kegiatan ini tampaknya dipengaruhi pula oleh tingkat persaingan yang tinggi sesama anak jalanan untuk mendapatkan uang sehingga mereka lebih mudah terpengaruh untuk melakukan kegiatan kriminal yang dinilai lebih banyak menghasilkan.

Secara umum permasalahan yang di hadapi oleh anak jalananan dapat dikategorikan menjadi enam, yaitu :
a.  Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahanekonomi keluarga.
b.  Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan.
c. Rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak anak.
d.  Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik dari kepolisian, Pemda maupun Departemen Sosial menyebabkan penanganan anak jalanan tidak terkoordinasi dengan baik.
e.  Peran masyarakat dalam memberikan kontrol sosial masih sangat rendah.
f.     Lembaga-lembaga organisasi sosial belum berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat menangani masalah anak jalanan.


3.5         Dampak Maraknya Anak Jalanan
         Ada beberapa dampak negatif yang diakibatkan oleh maraknya anak jalanan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Menjamurnya benih-benih premanisme
Anak jalanan yang ada di kota-kota besar menimbulkan dampak negatif di lingkungan sekitarnya, misalnya saja menjamurnya benih-benih premanisme. Hal ini bisa terjadi karena mereka mencukupi kebutuhannya dengan cara menganacam, menakut-menakuti orang yang lewat dan meminta uang secara paksa.

2.      Terganggunya kenyaman pemakai jalan raya
Jika kita berada di kota-kota besar, kita sering melihat banyak anak jalanan di pinggir jalan.Misalnya saja pada saaat lampu merah, banyak anak jalanan yang mendatangi pemakai jalan raya untuk menawarkan barang dagangannya, ada yang mengamen, dan mengemis.Hal ini tentu saja mengganggu kenyamanan pemakai jalan raya.

3.      Mengganggu keindahan dan ketertiban kota
Keindahan dan ketertiban kota tentu saja didukung oleh banyak hal. Jika banyak anak jalanan yang tinggal di kota menyebabkan keindahan dan ketertiban di kota berkurang. Hal ini bisa terjadi, karena banyak anak jalanan yang hidup di kolong jembatan, pinggiran rel kereta api, atau lingkungan yang kumuh untuk berlindung dari panas dan hujan.

4.      Terbengkalainya pendidikan anak-anak tersebut
Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita. Tanpa adanya ilmu, tentu kita tidak akan bisa menjalani kerasnya hidup ini. Bagi anak yang berusia 6-15 tahun, sebenarnya berhak untuk mengenyam pendidikan.Namun tidak bagi anak jalanan, karena faktor ekonomi keluarga, mereka putus sekolah dan turun ke jalanan untuk bekerja agar bisa bertahan hidup.

5.      Mengundang pola urbanisasi yang tinggi, serta mendorong tindakan-   tindakan kriminal di jalan raya.
Urbanisasi merupakan perpindahan penduduk dari desa ke kota. Banyak penduduk desa yang berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan.  Mereka berpikir mencari pekerjaaan di kota itu mudah. Namun pada kenyatannya, tanpa dibekali keterampilan dan keahlian khusus, mereka akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Dampak dari adanya anak jalanan yaitu pola urbanisasi yang tinggi Hal ini bisa terjadi karena anak jalanan yang pulang ke kampung asli mengiming-imingi penduduk desa kalau hidup di kota itu enak.

6.      Masa depan bangsa dipertanyakan
Anak bangsa merupakan generasi muda penerus bangsa untuk menjadikan bangsa ke arah yang lebih baik.Untuk bisa menjadikan bangsa yang berkualitas, damai, makmur, sejahtera diperlukan penduduk yang berkualitas juga.Namun ironisnya, banyak anak bangsa yang seharusnya mengenyam pendidikan malah berprofesi menjadi anak jalanan. Jika jumlah anak jalanan terus bertambah, maka masa depan bangsa ini perlu dipertanyakan.

       Didalam kegiatannya, peredaran anak jalan itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada suatu lembaga ilegal yang terus mendorong anak jalanan agar terus tumbuh dan berkembang demi keuntungan pribadi semata.Dimana mereka diajarkan bagaimana meminta-minta, mereka harus memberikan uang setoran kepada “BOS”. Selain itu, tingkat pendidikan yang minim membuat mind set mereka dapat di setting sedemikian rupa oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan beragam iming-iming, mereka perlahan dikeluarkan dari ajaran agamanya. Yang menjadi sasaran, kebanyakan adalah anak-anak usia sekolah dasar. Biasanya anak-anak itu diiming-imingi makanan, uang, janji kehidupan yang lebih baik, janji disekolahkan dan lain lain.

             Dari lika-liku kehidupan anak jalanan, dapat disimpulkan bahwa masalah krisis ekonomi dapat memicu masyarakat menjadi kehilangan arah dan tidak terkendali, seperti maraknya anak jalanan.Dimana pekerjaan sebagai anak jalanan menjadi pekerjaan yang wajar karena bagi mereka kehidupan dijalan raya menjadi lahan yang subur untuk mendapatkan uang.Mereka menganggap bahwa dengan merengek, memelas dan mengamen dijalan raya dapat membuat mereka mendapatkan uang dengan mudah.Dukungan dari orang tua membuat mereka tetap bertahan dengan keadaan seperti ini.Para anak jalanan pun sepertinya bahagia saja menjalani kehidupan tersebut.


3.5.1      Pengaruh Lingkungan Terhadap Perilaku Sosial Anak Jalanan
  Perilaku  anak jalanan selalu berada dalam situasi rentan dalam segi perkembangan fisik, mental, sosial bahkan nyawa mereka. melalui stimulasi tindakan kekerasan terus menerus, terbentuk sebuah nilai-nilai baru yang cenderung mengedepankan kekerasan sebagai cara untuk mempertahakan hidup. Ketika memasuki usia dewasa, kemungkinan mereka akan menjdai salah satu pelaku kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak jalanan lainnya. Disamping itu anak jalanan dengan keunikan kerangka budayanya, memiliki tindak komunikasi yang berbeda dengan anak yang normal.komunikasi intra budaya anak jalanan dapat menjelaskan tentang proses, pola, perilaku, gaya, dan bahasa yang digunakan mereka. aspek-aspek tersbut tampak manakala berkomunikasi sesama teman, keluarga, petugas keamanan dan ketertiban, pengurus rumah singgah, dan lembaga pemerintah.

       Anak jalanan yang sudah terbiasa dalam lingkungan rumah singgah dan anak jalanan yang “liar”, memiliki perilaku yang berbeda dan komunikasi yang berbeda.Perilaku komunikasi interpersonal sendiri berlangsung dalam situasi; memaksa, otoritatif, konflik, mengganggu (teasing), membiarkan (bebas),  sukarela, dan rayuan. Komunikasi interpersonal melalui pesan verbal dan nonverbal, secara spesifik disesuaikan dengan kepentingan dalam menjalankan aktivitas di jalanan. Pesan verbal mayoritas  berupa istilah/kata; yang berhubungan dengan kekerasan/konflik, panggilan khas (sebutan) kepada orang atau konteks jalanan, aktivitas jalanan dan pekerjaan. Pesan nonverbal yang disampaikan berbentuk: gestural, intonasi suara, mimik muka (facial), artifaktual, isyarat bunyi, pakaian (fashion), panataan pakaian/asesoris (grooming) dan penampilan (manner). Anak jalanan memaknai peran diri dalam keluarga dan masyarakat, sebagai inidividu yang mandiri (tanggung jawab pada diri dan keluarga), otonom (berusaha melepasakan ketergantungan),  dan individu yang berusaha memiliki relasi sosial dalam konteks di jalanan.
      
       Konstruksi makna peran diri itu sendiri dibangun secara kreatif dan dinamis di dalam  interaksi sosial anak dengan orang-orang dalam lingkungan jalanan. Selanjutnya, hasil interaksi sosial anak-anak dengan orang-orang dalam lingkungannya membentuk  konstruksi makna secara subyektif dan obyektif tentang orang dewasa, aturan dan prinsip-prinsip yang berkembang dalam konteks jalanan.
      
       Dengan demikian, perilaku social anak jalanan dengan masyarakat  tidak baik, karena perubahan sikap, cara komunikasi yang kasar, memaksa, brutal, tata cara bicara yang  buruk, gaya bahasa, pakaian yang tidak rapi, rambut yang di warnai membuat masyarakat tidak senang dengan anak jalanan.







BAB IV
PENUTUP

4.1              Kesimpulan
Penyebab utama meningkatnya jumlah anak jalanan adalah kemiskinan. Seiring menjamurnya anak jalanan banyak masalah yang muncul dan harus dihadapi oleh para anak jalanan, diantaranya terjadinya kekerasan pada anak jalanan, eksploitasi dan seks bebas di usia dini, serta merebaknya tindak kriminal. Selain itu, dampak meningkatnya anak jalan membawa mimpi buruk bagi pemerintah dan masyarakat, serta masa depan bangsa dapat dipertanyakan seiring fenomena tersebut, juga bagi kehidupan sosial anak jalanan itu sendiri. 

4.2              Saran
        Untuk menyelesaikan masalah anak jalanan, saya menyarankan sebaiknya Negara mempunyai kewajiban untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. kemiskinan jangan dipakai sebagai kambing hitam, tetapi kemiskinan structural, tindakan-tindakan Negara yang harus melindungi mereka baik itu di jalanan, melindungi mereka dari hak-hak mereka mendapat akses pendidikan dan sebagainya.

















DAFTAR PUSTAKA