BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Visi pembangunan nasional Indonesia,
dewasa ini telah berusaha menempatkan manusia sebagai pusat
perhatian.Pembangunan ekonomi diyakini harus sejalan dengan pembangunan sosial
sehingga pertumbuhan ekonomi dapat menyumbang langsung terhadap peningkatan
kualitas kesejahteraan sosial dan sebaliknya.Sayangnya pembangunan ekonomi
mengalami distorsi yang cukup serius, sehingga pertumbuhan yang dicapai tidak
serta-merta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Salah satu masalah yang paling
mencolok saat ini ialah masalah kemiskinan. Dimana kemiskinan pada gilirannya telah membawa dampak
buruk, seperti peningkatan jumlah anak jalanan di kota-kota besar.Berdasarkan hasil survei danpemetaan sosial anak
jalanan pada tahun 1999 yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan
Departemen Sosial dengan dukungan Asia Development Bank, jumlah anak
jalanan adalah 39.861 orang, yang tersebar di 12 kota besar. Pada tahun 2004,
menurut Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, jumlah
anak jalanan sebesar 98.113 orang, yang tersebar di 30 provinsi. Khusus di
wilayah Bandung kurang lebih berjumlah 5.500 anak jalanan (Data Dinas Sosial
Provinsi Jawa Barat, 2006) ; di wilayah Bogor 3.023 orang (Data Dinas Sosial
Pemda Bogor, 2006) ; dan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta kurang lebih
berjumlah 8.000 orang (Data Dinas Sosial DKI Jakarta, 2006).Dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah
anak jalanan kurang lebih berkisar 154.861 jiwa. Dari jumlah tersebut, menurut
Komisi Nasional Perlindungan Anak (2007), hampir separuhnya berada di DKI Jakarta.
Kemiskinan
pada pekerja anak usia dini berdampak negatif pada kondisi fisik, mental
dan intelektual mereka. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tenaga kerja anak
umumnya tidak lagi sekolah atau bahkan tidak pernah sekolah dengan alasan tidak
mampu sehingga mereka harus mencari nafkah demi membantu keluarga.Dikarenkan
hal tersebut, anak yang bekerja memiliki tingkat kecerdasan yang tergolong di
bawah rata-rata dan terbelakang (IQ kurang dari 70).Kerasnya hidup yang harus
mereka jalani menyebabkan mereka matang sebelum waktunya.Dampak negatif pada
pertumbuhan fisiknya juga berkaitan dengan kemiskinan yang mereka derita. Beban
yang begitu besar diberikan pada mereka dalam usia yang masih sangat muda juga
sangat berpengaruh pada kondisi psikologi mereka.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah konsep kemiskinan itu?
2. Bagaimanakah gambaran umum anak jalanan?
3. Apakah permasalahan yang dihadapi anak jalanan?
4. Apakah dampak yang
ditimbulkan seiring meningkatnya anak jalanan?
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Kemiskinan
Secara
harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak
berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976).Dalam pengertian yang lebih luas
kemiskinan adalah suatu keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa
untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum,
hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup.Kemiskinan kadang juga berarti
tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi
masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Miskin
adalah suatu keadaan seseorang yang mengalami kekurangan atau tidak mampu
memenuhi tingkat hidup yang paling rendah serta tidak mampu mencapai tingkat
minimal dari tujuan‑tujuan yang telah ditetapkan.Tujuan tersebut
dapat berupa konsumsi, kebebasan, hak mendapatkan sesuatu, menikmati hidup dan
lain‑lain (Husen, 1993).
Di lain pihak Friedmann (1979),
mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis kekuatan sosial meliputi modal
yang produktif atau asset (misalnya, tanah, perumahan, peralatan, kesehatan dan
lain‑lain); sumber‑sumber keuangan (income
dan kredit yang memadai); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan
untuk mencapai kepentingan bersama (partai politik, sindikat, koperasi dan
lain‑lain); jaringan sosial untukmemperoleh pekerjaan, barang‑barang dan lain‑lain;
pengetahuan dan keterampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk
memajukan kehidupan anda.
De Vos (1991) juga memberikan
pengertian kemiskinan berdasarkan beberapa pendekatan, yaitu batasan secara
absolut dan batasan relatif. Kemiskinan secara absolut memberikan pengertian
keadaan seseorang dalam pemenuhan kebutuhan minimum untuk hidup tanpa melihat
kondisi lingkungan masyarakat.Sedangkan pengertian kemiskinan relatif
memberikan pengertian keadaan seseorang bila dibandingkan dengan kondisi
masyarakatnya sering berpindah‑pindah lapangan pekerjaan dan sebahagian besar
pendapatannya.
Dari segi sosial, kemiskinan penduduk
dapat juga disebutkan sebagai
suatu kondisi sosial yang sangat rendah,
seperti penyediaan fasilitas kesehatan yang tidak mencukupi dan penerangan yang
minim (Sumardi dan Dieter, 1985). Kondisi sosial lain dari penduduk miskin
biasanya dicirikan oleh keadaan rumah tangga dimana jumlah anggota keluarga
banyak, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga rendah,
dan umumnya rumah tersebut berada di pedesaan (BPS, 2002).
Dari segi ekonomi, rumah tangga miskin
dicirikan oleh jenis mata pencaharian pada sektor informal di pedesaan maupun
di perkotaan, sering berpindah-pindah mata pencaharian dari produktivitas yang
rendah sehingga menyebabkan pendapatan yang rendah. Karakteristik lain dari
rumah tangga miskin adalah kecenderungan untuk menyediakan sebagian besar dari
anggaran rumah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Alokasi pendapatan yang
cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan merupakan cerminan adanya
kemiskinan rumah tangga (Hasbullah, 1983).
Sekurang‑kurangnya ada dua pendekatan
untuk memberikan pengertian tentang kemiskinan. Pertama adalah pendekatan absolut yang menekankan pada pemenuhan
kebutuhan fisik minimum, tolok ukur yang dipakai adalah kebutuhan minimal yang
harus dipenuhi oleh seseorang atau keluarga agar dapat melangsungkan hidupnya
pada taraf yang layak. Pendekatan kedua
adalah pendekatan relatif dimana kemiskinan ditentukan berdasarkan taraf
hidupnya relatif dalam masyarakat (Suparlan, 1984).
Mubyarto (1990) mengungkapkan bahwa
kemiskinan adalah manifestasi dari keadaan keterbelakangan masyarakat, dimana
melalui upaya‑upaya pendidikan dan modernisasi, kemiskinan dan keterbelakangan
akan berkurang. Selanjutnya menurut Esmara (1979), yang dimaksud dengan tingkat
kemelaratan absolut lebih banyak ditujukan terhadap tingkat kehidupan penduduk
secara absolut, baik yang diukur dengan pemakaian kalori, tingkat gizi,
sandang, sanitasi, pendidikan, dan sebagainya.
Sajogyo (1988), mengartikan
kemiskinan tidak sebatas hanya dicerminkan oleh rendahnya tingkat pendapatan
dan pengeluaran. Sajogyo memandang kemiskinan secara lebih kompleks dan
mendalam dengan ukuran delapan jalur pemerataan yaitu rendahnya peluang
berusaha dan bekerja, tingkat pemenuhan pangan, sandang dan perumahan, tingkat
pendidikan dan kesehatan, kesenjangan desa dan kota, peran serta masyarakat,
pemerataan, kesamaan dan kepastian hukum dan pola keterkaitan dari beberapa
jalur tersebut.
Menurut Bappenas (2002),
kemiskinan adalah suatu situasi dan kondisi yang dialami seseorang atau
sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf
yang dianggap manusiawi.
Biro Pusat Statistik (2002, dalam
Syaefudin, 2003) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang
hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per
hari.
2.2
Dimensi dan Klasifikasi Kemiskinan
Konsep
kemiskinan merupakan suatu konsep yang multidimensional sehingga konsep
kemiskinan tidak mudah untuk dipahami. Menurut Widodo, (2006:296) Kemiskinan
paling tidak memiliki tiga dimensi, yaitu :
a)
Kemiskinan politik.
Kemiskinan politik memfokuskan pada
derajat akses terhadap kekuasaan (power).Yang dimaksud kekuasaan disini
meliputi tatanan sistem sosial politik yang menentukan alokasi sumber daya
untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial dan menentukan
alokasi sumber daya.
b)
Kemiskinan sosial.
Kemiskinan sosial adalah kemiskinan
karena kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapat
kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Dengan kata lain kemiskinan
sosial adalah kemiskinan yang disebabkan adanya faktor-faktor menghambat yang
mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang tersedia.
c)
Kemiskinan Ekonomi
Kemiskinan dapat diartikan suatu
keadaan kekurangan sumber daya (resources) yang
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.
Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber
daya yang tersedia pada kelompok ini dan membandingkannya dengan ukuran-ukuran
baku. Sumber daya yang dimaksud dalam pengertian ini mencakup konsep ekonomi
yang luas tidak hanya merupakan pengertian finansial, dalam hal ini kemampuan
finansial keluarga untuk memenuhi kebutuhan, tetapi perlu mempertimbangkan
semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.3 Faktor Penyebab
Kemiskinan
Kemiskinan merupakan sebuah konsep
abstrak yang dapat dijelaskan secara berbeda dimana tergantung dari pengalaman
dan perspektif analis.
Ada banyak hal yang menyebabkan
seseorang masuk kedalam kategori miskin. Namun, menurut World Bank setidaknya
ada tiga faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu:
1. Rendahnya pendapatan dan aset untuk
memenuhi kebutuhan dasar, seperti: makanan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan
dan pendidikan.
2. Ketidakmampuan untuk bersuara dan
ketiadaan kekuatan didepan institusi negara dan masyarakat.
3. Rentan terhadap guncangan ekonomi,
terkait dengan ketidakmampuan menanggulanginya.
Sementara itu terdapat juga banyak
faktor yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung tingkat
kemiskinan, mulai dari produktivitas tenaga kerja, tingkat upah netto,
distribusi pendapatan, kesempatan kerja, tingkat inflasi, pajak dan subsidi,
investasi, alokasi serta sumber daya alam, ketersediaan fasilitas umum (seperti
pendidikan dasar, kesehatan, informasi, transportasi, listrik, air bersih dan
lokasi pemukiman), penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi
fisik dan alam suatu wilayah, etos kerja dan motivasi pekerja, 25 budaya atau
tradisi, politik, bencana alam dan peperangan. Sebagian besar dari
faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (Tambunan, 2001).
Kartasasmita (1996) juga menjelaskan penyebab terjadinya kemiskinan dimana akibat
dari berbagai faktor yang terdiri dari: pertama, rendahnya tingkat
pendidikan menyebabkan pengembangan diri yang terbatas. Kedua, rendahnya
tingkat kesehatan dimana tingkat kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan
daya tahan fisik, daya pikir serta prakarsa menjadi rendah pula. Dengan
demikian produktivitas yang dihasilkan menjadi berkurang, baik dalam jumlah
maupun kualitasnya. Akibat dari hal ini adalah bargaining position mereka
dalam hampir seluruh kegiatan ekonomi menjadi lemah. Ketiga, terbatasnya
lapangan kerja. Selama lapangan pekerjaan atau kegiatan usaha masih ada,
harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan masih dapat dilakukan. Keempat,
kondisi keterisolasian. Dalam kondisi terpencil atau terisolasi penduduk akan
kurang mampu menjalankan roda perekonomiannya.
Sedangkan menurut Sharp (1996)
dari sudut pandang ekonomi terdapat tiga penyebab kemiskinan, antara lain:
1. Kemiskinan yang muncul karena adanya
ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi
pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam
jumlah terbatas dan kualitasnya rendah.
2. Kemiskinan yang muncul akibat
perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya yang rendah
berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya mendapatkan upah yang
rendah. Rendahnya kualitas sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib
yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau keturunan.
3. Kemiskinan yang muncul akibat
perbedaan akses dalam modal
2.4 Definisi
Anak Jalanan
Di Amerika selatan, tepatnya di Brazilia, istilah anak
jalanan pertama kali diperkenalkan dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan
tidak memiliki ikatan dengan keluarga. Berbeda lagi, misalnya di Columbia
mereka disebut “gamin” (urchin atau melarat) dan “chinces” (kutu kasur),
“marginais” (criminal atau marjinal) di Rio, “pa’jaros frutero” (perampok
kecil) di Peru, “polillas” (ngrengat) di Bolivia, “resistoleros” (perampok
kecil) di Honduras, “Bui Doi” (anak dekil) di Vietnam, “saligoman” (anak
menjijikkan) di Rwanda.
Dalam
buku “Intervensi Psikososial” (Depsos, 2001:20), anak jalanan adalah anak yang
sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di
jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.
Beberapa
pengertian anak jalanan menurut beberapa ahli hukum, antara lain:
a. Sandyawan memberikan pengertian bahwa
anak jalanan adalah anak-anak yang berusia maksimal 16 tahun, telah bekerja dan
menghabiskan waktunya di jalanan.
b. Peter Davies memberikan pemahaman bahwa
fenomena anak-anak jalanan sekarang ini merupakan suatu gejala global.
Pertumbuhan urbanisasi dan membengkaknya daerah kumuh di kota-kota yang paling
parah keadaannya adalah di negara berkembang, telah memaksa sejumlah anak yang
semakin besar untuk pergi ke jalanan ikut mencari makan demi kelangsungan hidup
keluarga dan bagi dirinya sendiri.
c. Menurut Soedijar (1989) dalam studynya
menyatakan bahwa anak jalanan adalah anak usia antara 7 sampai 15 tahun yang
bekerja di jalanan dan tempet umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman
dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya sendiri. Seorang
anak jalanan memiliki persepsi yang berbeda dengan persepsi anak normal
mengenai hubungan dengan orang dewasa, tanggung jawab terhadap keluarga dan
saudaranya, hubungan dengan lawan jenis, uang, pendidikan dan kepercayaan pada agama.
d. Menurut Putranto dalam Agustin (2002)
dalam studi kualitatifnya mendefinisikan anak jalanan sebagai anak berusia 6
sampai 15 tahun yang tidak bersekolah lagi dan tidak tinggal bersama orang tua
mereka, dan bekerja seharian untuk memperoleh penghasilan di jalanan, persimpangan
dan tempat-tempat umum.
Sementara itu,
menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999), anak jalanan dibedakan
menjadi empat kelompok yakni:
1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi
dengan orang tuanya ( children of the street ). Mereka tinggal
24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang
hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini
disebabkan oleh factor social psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan,
penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau
kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah
menjadi ikatan mereka.
2. Anak-anak yang berhubungan tidak
teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children
on the street). Mereka seringkali diindentikan sebagai pekerja migran
kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya
mereka bekerja dari pagi hingga sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong,
pengamen, tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di
lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.
3. Anak-anak yang berhubungan teratur
dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan
sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman,
belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha
mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran.
4. Anak-anak jalanan yang berusia di atas
16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu
pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya
kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) ke kota.
Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan
(kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Konsep Kemiskinan
Kemiskinan
dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif.Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif adalah konsep kemiskinan yang
mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup
seseorang atau kekeluarga.Kedua istilah itu menunjuk pada perbedaan sosial (social
distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi pendapatan.Perbedaannya
adalah bahwa pada kemiskinan absolut ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan
dengan angka-angka nyata (garis kemiskinan) dan atau indikator atau kriteria
yang digunakan, sementara pada kemiskinan relatif kategori kemiskinan ditentukan
berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk.
3.1.1. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan
absolut atau mutlak berkaitan dengan standar hidup minimum suatu masyarakat
yang diwujudkan dalam bentuk garis kemiskinan (poverty line) yang
sifatnya tetap tanpa dipengaruhi oleh keadaan ekonomi suatu masyarakat. Garis
Kemiskinan (poverty line) adalah kemampuan seseorang atau keluarga
memenuhi kebutuhan hidup standar pada suatu waktu dan lokasi tertentu untuk
melangsungkan hidupnya. Pembentukan garis kemiskinan tergantung pada defenisi
mengenai standar hidup minimum. Sehingga kemiskinan abosolut ini bisa diartikan
dari melihat seberapa jauh perbedaan antara tingkat pendapatan seseorang dengan
tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tingkat
pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak
miskin.
Pada tahun
1976 International Labor Organization (ILO) menggunakan ukuran kebutuhan
pokok untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin. Indikator-indikator
kebutuhan pokok yang dimaksud adalah pangan, papan, sandang dan fasilitas umum
seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan transportasi. Strategi
yang digariskan oleh ILO tersebut menyebutkan adanya keharusan usaha langsung
untuk memperbaiki nasib golongan yang paling miskin tanpa menunggu bekerjanya
proses tetesan ke bawah (Bigsten, Anne dalam Gammel, Norman, dkk dalam Budi
Jati, ibid: hal 229-230: Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan
Yayasan Agro Ekonomika, Kajian Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Era
Otonomi Daerah, Jakarta, 2002, hal I-1).
World Bank (2008) menghitung tingkat dan jumlah penduduk miskin absolut dengan menggunakan
ukuran tunggal yang seragam untuk semua negara. Di negara-negara sedang berkembang
seseorang disebut miskin bila berpendapatan kurang dari $ US 1 per hari, dimana
diperkirakan ada sekitar 1,2milyar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran
tersebut. Sementara garis kemiskinan yang diukur berdasarkan ukuran $ US 2 juga
telah dipublikasikan
dimana
lebih dari 2 milyar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dolar
yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity) bukan nilai tukar
resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut. Garis
kemiskinan di Indonesia secara luas digunakan pertama kali dikenalkan oleh Sajogyo
pada tahun 1964 yang diukur berdasarkan konsumsi setara beras per tahun.
Menurut Sajogyo terdapat tiga ukuran garis kemiskinan yaitu miskin,
sangat miskin dan melarat yang diukur berdasarkan konsumsi per kapita per tahun
setara beras sebanyak 480 kg, 360 kg dan 270 kg untuk daerah perkotaan dan 320
kg, 240 kg dan 180 kg untuk daerah pedesaan (Arndt,Pembangunan dan
Pemerataan, hal 58, 1987). BPS menghitung jumlah dan persentase penduduk
miskin (head countindex) yaitu penduduk yang hidup dibawah garis
kemiskinan berdasarkan data hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Garis kemiskinan yangmerupakan dasar penghitungan jumlah penduduk miskin dihitung
dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach)
yaitu besarnya rupiah yang dibutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimum makanan dan non makanan atau lebih dikenal dengan garis kemiskinan
makanan
dan
non makanan. Garis kemiskinan makanan yang dimaksud adalah pengeluaran konsumsi
per
kapita per bulan yang setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari. Sedangkan
garis kemiskinan non makanan adalah besarnya rupiah untukmemenuhi kebutuhan non
makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan,angkutan, pakaian dan barang
atau jasa lainnya. Komponen garis kemiskinanmakanan adalah nilai rupiah yang
dikeluarkan untuk memenuhi 52 komoditi makanan terpilih hasil Susenas modul
konsumsi. Sedangkan garis kemiskinan nonmakanan adalah nilai rupiah dari 27 sub
kelompok pengeluaran yang terdiri atas 51 jenis komoditi dasar non makanan di
perkotaan dan 47 jenis komoditi dipedesaan.
Dapat disimpulkan secara umum bahwa kemiskinan absolut
adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan
suatu keluarga dalam membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup
sesuai dengan taraf hidup kemanusiaan yang paling rendah.Oleh karena itu,
penelitian ini selanjutnya mengacu kepada defenisi kemiskinan tersebut.
3.1.2. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk pada perbedaan
relatif tingkat kesejahteraan antar kelompok masyarakat. Mereka yang berada
dilapis terbawah dalam persentil derajat kemiskinan suatu masyarakat
digolongkan sebagai penduduk miskin. Dalam kategori seperti ini, dapat saja
mereka yang digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah dapat mencukupi hak
dasarnya, namun tingkat keterpenuhannya berada dilapisan terbawah. Kemiskinan
relatif memahami kemiskinan dari dimensi ketimpangan antarkelompok penduduk.
Pendekatan ketimpangan tidak berfokus pada pengukuran garis kemiskinan, tetapi
pada besarnya perbedaan antara 20 atau 10 persenmasyarakat paling bawah dengan
80 atau 90 persen masyarakat lainnya. Kajian yang berorientasi pada pendekatan
ketimpangan tertuju pada upaya memperkecil perbedaan antara mereka yang berada
dibawah (miskin) dan mereka yang makmur dalam setiap dimensi statifikasi dan
diferensiasi sosial. Ketimpangan merupakan suatu permasalahan yang berbeda
dengan kemiskinan. Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk
miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan dan perlu
disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan.
Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat
kemiskinan antar negaradan waktu karena tidak mencerminkan tingkat
kesejahteraan yang sama.
World Bank mengelompokkan penduduk kedalam tiga kelompok sesuaidengan besarnya
pendapatan: 40 persen penduduk dengan pendapatan rendah, 40 persen penduduk dengan
pendapatan menengah dan 20 persen penduduk denganpendapatan tinggi. Ketimpangan
pendapatan diukur dengan menghitungpersentase jumlah pendapatan penduduk dari
kelompok yang berpendapatan 40 persen terendah dibandingkan total pendapatan
seluruh penduduk. Kategori ketimpangan ditentukan dengan menggunakan kriteria
seperti berikut: Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk
kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang
dari 12 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan tinggi. Jika proporsi
jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori 40 persen terendah terhadap
total pendapatan seluruh penduduk antara 12-17 persen dikategorikan ketimpangan
pendapatan sedang. Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk
kategori 40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih
dari 17 persen dikategorikan ketimpangan pendapatan rendah.
3.2 Penyebab Kemiskinan
Menurut Kuncoro
(2000: 107) yang mengutip Sharp, penyebab kemiskinan adalah :
1. Secara
mikro kemiskinan minimal karena adanya ketidaksamaan
pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang
timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan
kualitasnya rendah;
2. Kemiskinan
muncul akibat perbedaan dalam kualitas
sumberdaya manusia. Kualitas sumber daya yang rendah berarti
produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah.Rendahnya kualitas
sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung,
adanya diskriminasi, atau karena keturunan;
3. Kemiskinan
muncul akibat perbedaan akses dalam
modal.
Ketiga penyebab
kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle poverty). Adanya
keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan
merendahnya produktivitas sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan yang
mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan
dan investasi yang berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya. Logika
berpikir ini dikemukakan oleh Nurkse dalam Kuncoro (2000: 107), yang mengatakan
“a poor country is poor, because it is
poor” (negara miskin itu miskin karena dia miskin)
3.3 Gambaran Anak Jalanan
3.3.1 Pengertian Anak Jalanan
Pengertian anak jalanan telah banyak dikemukakan oleh banyak
ahli. Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah anak yang menghabiskan
sebagian besar waktunya dijalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas
lain. Anak jalanan tinggal di jalanan karena dicampakkan atau tercampakkan dari
keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran
keluarganya. Umumnya anak jalanan
bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais
sampah. Tidak jarang menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan,
perkelahian, dan kekerasan lain. Anak jalanan lebih mudah tertular kebiasaan
tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan penyalahgunaan obat.
Berdasarkan hasil kajian
lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok
(Surbakti dkk.eds : 1997) :
1. Children on the street
Yakni anak-anak yang mempunyai
kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai
hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian penghasilan mereka
dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi
keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung tidak
dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
2. Children of the street
Yakni anak-anak yang berpartisipasi
penuh dijalankan, baik secara social maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka
masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekwensi pertemuan mereka
tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab
biasanya kekerasan atau lari dari rumah.
3. Children from family of the street
Yakni anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup dijalanan. Meski anak-anak ini mempunyai hubungan
kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu
tempat ke tempat yang lai dengan segala resikonya (Blanc & Associate,
1990;Irwanto dkk,1995; Taylor & Veale, 1996). Salah satu cirri penting dari
kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak masih bayi bahkan sejak
masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah ditemui di
berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan
pinggiran sungai walau secara kwantitatif jumlahnya belum diketahui secara
pasti.
3.3.2 Karakteristik Anak Jalanan
Menurut penelitian Departemen Sosial dan UNDP
di Jakarta dan Surabaya ( BKSN, 2002:2-4), anak jalanan dikelompokkan dalam
emepat kategori :
1. Anak
jalanan yang hiup dijalanan, dengankriteria
:
a.
Putus hubungan atau lama tidak lama ketemu dengan orang tuanya
b. 8-10
jam berada di jalanan unyuk “bekerja” (mengamen, mengemis,memulung) dan sisanya
menggelandang / tidur.
c.
Tidak lagi sekolah
d.
Rata – rata berusia di bawah 14 tahun
2. Anak jalanan yang bekerja, dengan kriteria
:
a. Berhubungan tidak teraturdengan orang tuanya
b. 8-16 jam berada di jalanan
c. Mengontrak kamar sendiri bersama teman, ikut
orang tua/saudara umumnya didaerah kumuh
d. Tidak lagi sekolah
e. Pekerjaan :
penjual Koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir sepatu
f. Rata-rataberusia di bawah 16 tahun
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengankriteria :
a. Bertemu teratur setiap hari / tinggal dan tidur dengan keluarganya
b. 4-5 jam bekerja di jalanan
c. Masih bersekolah
d. Pekerjaan :
penjual Koran, penyemir sepatu, pengamen, dll
e. Usia rata-rata di bawah 14 tahun
4. Anak jalanan berusia diatas 16 tahun, dengankriteria :
a. Tidak lagi berhubungan / berhubungan tidak
teratur dengan orang tuanya
b. 8-24 jam bekerja di jalanan
c. tidur dijalanan atau di rumah orang tua
d. Sudah tamat SD atau SLTP, tapi sudah tidak
bersekolah lagi
e. Pekerjaan :
calo, mencuci bis, menyemir, dll
Dalam buku “Standar
Pelayanan Sosial Anak Jalanan melalui Rumah Singgah” (2002:13-15), Setiap rumah
singgah boleh menentukan sendiri kategori anaka jalanan yang didampingi. Kategori anak jalanan dapat
disesuaikan dengan kondisi anak jalanan di masing-masing kota. Secara umum kategori
anak jalanan sebagai berikut :
1. Anak jalanan yang hidup di jalanan,
dengan cirinya sebagai berikut :
a. Putus hubungan tau tidak lama bertemu dengan
orang tuanya minimal setahun yang lalu
b. Berada di jalanan untuk bekerja dan
menggelandang
c. Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di
sembarang tempat seperti emper took, kolong jembatan, taman, terminal, stasiun,
dll
d. Tidak bersekolah lagi
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan,
cirinya adalah :
a. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya,
yakni pulang secara periodik,
misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka umumnya
berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan.
b. Berada di jalanan sekitar 8 s.d 12 jam untuk
bekerja, sebagian mencapai 16 jam
c. Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri
atau bersama teman, dengan orang tua / saudara, atau di tempat kerjanya dijalan
d. Tidak bersekolah lagi
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan,
cirinya adalah :
a. Setiapm hari
bertemu dengan orang tuanya (teratur)
b. Berada dijalanan
sekitar 4 s.d 6 jam untuk bekerja
c. Tinggal dan tidur
bersama orang tua / wali
d. Masih bersekolah
Lebih jelas dalam buku “Modul Pelatihan Rumah Singgah” (BKSN,2000:61-62) kategori dan
karakteristik anak jalanan :
1. Kelompok
yang hidup dan bekerja di jalanan
Karakteristiknya
:
a.
Menghabiskan
seluruh waktunya di jalanan
b.
Hidup
dalam kelompok kecil atau perorangan
c.
Tidur
diruang-ruang / cekungan dipertokoan, seperti : terminal, emper took, kolong
jembatan dan pertokoan
d.
Hubungan
dengan orang tuanya biasanya sudh putus
e.
Putus
sekolah
f.
Bekerja
sebagai : pemulung, ngamen, mengemis, semir, kuli angkut barang
g.
Berpindah
pindah tempatnya
2. Kelompok
anak jalanan yang bekerja dijalanan dan masih pulang kerumah orang tua mereka
setiap hari
Karakteristiknya
:
a.
Hubungan
dengan orang tua masih ada tetapi tidak harmonis
b.
Sebagian
besar dari mereka telah putus sekolah dan sisanya rawan untuk meninggalkan
bangku sekolah
c.
Rata-rata
pulang setiap hari atau seminggu sekali kerumah
d.
Bekerja
sebagai : pengemis, pengamen diperempatan,
kernet, asongan Koran, dan ojek payung.
3. Kelompok
anak jalanan yang bekerja dijalanan dan pulang ke desanya antara 1 hingga 2
bulan sekali
Karakteristiknya :
a. Bekerja dijalanan sebagai : pedagang asongan,
menjual makanan keliling, kuli angkot barang
b. Hidup berkelompok bersama dengan orang-orang
yang berasal dari satu daerah dengan cara mengontrak rumah atau tinggal di
sarana-sarana umum / tempat ibadah seperti masjid
c. Pulang antara 1 hingga 3 bulan sekali
d. Ikut membiayai keluarga didesanya
e. Putus sekolah
4. Anak
remaja jalanan bermasalah (ABG)
Karakteristiknya
:
a.
Menghabiskan
sebagian waktunya dijalanan
b.
Sebagian
sudah putus sekolah
c.
Terlibat
masalah narkotika dan obat-obatan lainnya
d.
Sebagian
dari mereka melakukan pergaulan bebas, pada beberapa anak perempuan mengalami
kehamilan dan mereka rawan untuk terlibat prostitusi
e.
Berasal
dari keluarga yang tidak harmonis
Lebih rinci dalam buku
“Intervensi Psikososial” (Depsos,
2001:23-24) karakteristik anak jalanan dibagi menjadi cirri-ciri fisik dan
psikis anak jalanan sebagai berikut :
1.
Ciri Fisik
a. Warna kulit kusam
b. Rambut kemerah-merahan
c. Kebanyakan berbadan kurus
d. Pakaian tidak terurus
2.
Ciri
Psikis
a. Mobilitas tinggi
b. Acuh tak acuh
c. Penuh curiga
d. Sangat sensitive
e. Berwatak keras dan kreatif
f. Semangat hidup tinggi dan berani menganggung
resiko
Lebih
lanjut dijelaskan dalam buku tersebut, indikator anak jalanan :
1.
Usia bekisar antara 6 sampai dengan 18 tahun
2.
Intensitas hubungan dengan keluarga :
a.
Masih
berhubungan seara teratur miniml bertemu sekali setiap hari
b.
Frekuensi
berkomunikasi dengan keluarga sampai kurang
c.
Sama
sekali tidak komunikasi dengan keluarga
3.
Waktu yang dihabiskan dijalankan lebih
dari 4 jam setiap hari
4.
Tempat tinggal :
a. Tinggal bersama orang tua
b. Tinggal berkelompok dengan teman-temannya
c. Tidak mempunyai tempat tinggal
5.
Tempat anak jalanan sering dijumpai di : Pasar, terminal bus, stasiun kereta api,
taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalan atau jalan raya,
pusat perbelanjaan atau mall, kendaraan umum (pengamen), tempat pembuangan
sampah.
6.
Aktifitasuntuk jalanan : menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo,
menjajakan Koran/majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung,
pengamen, menjadi kuli angkot, menyewakan payung, menjadi penghubung atau
penjual jasa.
7.
Sumber dana dalam melakukan kegiatan : modal sendiri, modal kelompok, modal majikan /
patron, stimulant / bantuan.
8.
Permasalahan :korban eksploitasi seks, rawan kecelakaan lalu
lintas, ditangkap petugas, konflik dengan anak lain, terlibat tindak criminal,
ditolak masyarakat lingkungannya.
9.
Kebutuhan anak jalanan :aman dalam keluarga, kasih saying, bantuan
usaha, pendidikan, bimbingan ketrampilan, gizi dan kesehatan, hubungan harmonis
dengan orangtua keluarga dan masyarakat.
3.4
Masalah yang Dihadapi Anak Jalanan
Mencermati
perkembangan situasi anak jalanan beberapa tahun belakangan ini, Yayasan Setara
mengidentifikasikan beberapa masalah yang menonjol, yaitu :
1.
Kekerasan
terhadap anak jalanan
Berbagai penelitian, laporan
program, hasil monitoring dan pemberitaan media massa telah banyak mengungkap
situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan Semarang. Monitoring PAJS (1997)
di kawasan Tugu Muda pada periode Juli-Desember 1996, mencatat dari 22 kasus
kekerasan terhadap anak jalanan 19 kasus (86,3%) dilakukan oleh petugas
keamanan (kepolisian, Satpol PP, dan TNI) yang seharusnya memberikan
perlindungan terhadap mereka. Hal senada diungkap pula dalam laporan penelitian
YDA (1997pengrusakan rumah singgah di kawasan Lemah Gempal pada tahun 1997 oleh
sekelompok orang tak dikenal yang disusul dengan teror-teror terhadap anak
jalanan (Info Jalanan, edisi khusus, September) yang menyatakan bahaya
terbesar yang paling sering dialami anak jalanan adalah dikejar polisi di mana
91% anak yang pernah tertangkap mengaku mengalami penyiksaan (Permadi &
Ardhianie –peny.; 1997). Selain kasus kekerasan yang dialami secara personal,
kekerasan terhadap komunitas juga kerap terjadi.Warga Semarang mungkin masih
teringat kasus penyerangan dan 1997).Setelah mengalami nasib buruk, anak-anak
jalanan yang terhimpun dalam PAJS kembali menjadi korban kekerasan oleh negara
melalui pernyataan pejabat Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang yang melarang
PAJS untuk beraktivitas karena dianggap organisasi liar (Wawasan, 4
April 1998).Kasus kekerasan yang baru saja terjadi adalah pengusiran anak-anak
jalanan dari rumah singgah oleh ketua LSM pengelolanya sendiri dan penyerangan
sekelompok orang terhadap anak jalanan di Manggala di mana dua anak perempuan
menjadi korban perkosaan kelompok tersebut (Aliansi; 2000).
2.
Kekerasan
dan eksploitasi seksual
Kekerasan lainnya adalah kekerasan
dan eksploitasi seksual.Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami
pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan.Ketika tidur,
kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan,
misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah
perkosaan. Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000b) dalam laporannya menyatakan
bahwa 30% anak jalanan perempuan mengalami hubungan seksual pertama akibat
perkosaan.Tak jarang perkosaan dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal
dengan istilah pangris atau Jepang baris.Di kawasan Simpang
Lima, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan oleh sekelompok
orang tertentu. Lalu belum lama ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media
massa mengenai dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap puluhan anak jalanan
yang justru dilakukan oleh pendampingnya sendiri (lihat misalnya; Radar
Semarang & Wawasan, 2 September 2000; Kompas, 4
September 2000).
Anak jalanan
perempuan juga diketahui rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial
yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk tujuan seksual dan pornografi.Pada
tahun 1997, YDA mencatat ada 8% anak jalanan di Semarang yang dilacurkan. Tahun
berikutnya meningkat menjadi 28% (PSW Undip; 1998) dan meningkat lagi menjadi
46,4% (Shalahuddin, 2000b). Indikasi perdagangan anak untuk prostitusi dengan
sasaran anak jalanan perempuan yang pernah dikemukakan oleh Setara (1999), pada
perkembangannya indikasi tersebut semakin kuat. Hasil monitoring pada periode
Januari-Juni 2000, Yayasan Setara mencatat ada 10 anak yang diperdagangkan ke
daerah Batam dan Riau (Shalahuddin, -peny.; 2000a). Kasus pornografi
terhadap anak jalanan diduga juga terjadi.Namun sejauh ini belum ada data-data
yang mengungkapkan hal tersebut.
3.
Seks
bebas dan Perilaku seksual usia dini
Seks
bebas telah diketahui publik menjadi bagian dari kehidupan anak jalanan.Berbagai
hasil penelitian anak jalanan yang ada semakin memperkuat pandangan semacam
itu. Di Semarang, seks bebas sesama anak jalanan juga terjadi. YDA (1997) dalam
penelitiannya melaporkan bahwa 31% anak jalanan Semarang pernah melakukan
hubungan seksual dan cenderung berganti-ganti pasangan. Laporan penelitian
Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000b) mengungkapkan bahwa dari 46 anak jalanan
perempuan, 38 anak (67,8%) telah memiliki pengalaman seksual. 27 anak
diantaranya memiliki kecenderungan berganti-ganti pasangan dan 26 anak
diindikasikan berada dalam prostitusi.
Berdasarkan
pengalaman selama berinteraksi dengan anak jalanan biasanya anak yang memiliki
pengalaman seksual berumur 15 tahun ke atas. Namun, berdasarkan hasil
monitoring dan investigasi Yayasan Setara pada awal tahun 2001, di salah satu
kawasan mulai muncul perilaku seksual aktif pada usia dini, yaitu di
bawah 14 tahun. Setara mencatat ada 12 pasangan, dan satu pasangan diantaranya
masih memiliki hubungan sedarah.
Perilaku seks bebas
menyebabkan anak jalanan rentan terhadap ancaman terinveksi PMS dan HIV/AIDS
dan bagi anak jalanan perempuan resiko kehamilan menjadi tinggi.Pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh Yayasan Setara pada tahun 1999-2000 menjumpai 20
kasus anak terkena PMS dan beberapa diantaranya sudah parah.Sedangkan tingkat
kehamilan anak jalanan perempuan cenderung mengalami peningkatan.Data yang
tercatat, pada tahun 1999 diketahui 6 anak mengalami kehamilan dan pada tahun berikutnya
meningkat menjadi 8 anak. Ada berbagai cara yang dilakukan oleh anak untuk
menggugurkan kandungannya seperti, minum pil, pijat, jamu, dipukul-pukul
perutnya dan berbagai cara yang tidak aman bagi mereka.
4.
Penggunaan
drugs
Sebagian
besar anak jalanan telah mengkonsumsi minuman keras, pil dan zat-zat adiktif
lainnya secara rutin.Ini tidak terbatas pada anak jalanan laki-laki saja
melainkan juga anak perempuan. Penelitian Setara (2000) mengungkapkan 62,5%
anak jalanan perempuan mengkonsumsi minuman keras dan pil. Menurut Huijben
(1999), hal yang mendorong mereka mengkonsumsi karena dianggap sebagai jalan
keluar dari masalah yang dihadapi. Selain itu sebagian anak menggunakannya
untuk menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan.
Ada berbagai cara
bagi mereka untuk mendapatkan drugs, seperti membeli, meminta, diberi dan
merampas. Pada beberapa kasus, anak mencoba mencari barang-barang yang
murah, misalnya mengkonsumsi kecubung dan menghisap lem aica aibon. Mengenai
penggunaan lem, berdasarkan pengamatan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak
awal tahun 1997 terutama di kawasan Poncol. Dibandingkan dengan Bandung,
jakarta dan Yogyakarta, yang menyebar dengan cepat ke berbagai lokasi anak
jalanan, penyebaran di Semarang tidak cepat meluas. Hanya saja, sejak tahun
2000, penggunaan lem ini sudah menyebar di kawasan Simpang Lima dan pada tahun
2001 menyebar ke kawasan Tugu Muda.
5.
Tindakan
kriminal
Tindakan
kriminal yang dilakukan anak jalanan secara kuantitas tampaknya meningkat
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan bentuk yang lebih berani.Sebagai
contoh, bila sebelumnya mereka hanya melakukan pemerasan sesama anak jalanan,
kini mereka sudah berani melakukan pemerasan, penodongan dan pencopetan ke
masyarakat. Mengamati pemberitaan media massa, sejak tahun 2000 kerapkali
diberitakan adanya anak jalanan yang ditangkap akibat melakukan tindakan
kriminal.
Kegiatan ini
tampaknya dipengaruhi pula oleh tingkat persaingan yang tinggi sesama anak
jalanan untuk mendapatkan uang sehingga mereka lebih mudah terpengaruh untuk
melakukan kegiatan kriminal yang dinilai lebih banyak menghasilkan.
Secara umum permasalahan yang di hadapi oleh anak
jalananan dapat dikategorikan menjadi enam, yaitu :
a. Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga
justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahanekonomi
keluarga.
b. Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah
sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun
ke jalan.
c. Rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka
tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui
hak-hak anak.
d. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik dari
kepolisian, Pemda maupun Departemen Sosial menyebabkan penanganan anak jalanan
tidak terkoordinasi dengan baik.
e. Peran masyarakat dalam memberikan kontrol sosial masih sangat rendah.
f. Lembaga-lembaga organisasi sosial
belum berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat menangani masalah anak
jalanan.
3.5 Dampak Maraknya Anak Jalanan
Ada beberapa dampak negatif yang
diakibatkan oleh maraknya anak jalanan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Menjamurnya benih-benih premanisme
Anak jalanan yang ada
di kota-kota besar menimbulkan dampak negatif di lingkungan sekitarnya,
misalnya saja menjamurnya benih-benih premanisme. Hal ini bisa terjadi karena
mereka mencukupi kebutuhannya dengan cara menganacam, menakut-menakuti orang
yang lewat dan meminta uang secara paksa.
2.
Terganggunya kenyaman pemakai jalan raya
Jika kita berada di
kota-kota besar, kita sering melihat banyak anak jalanan di pinggir
jalan.Misalnya saja pada saaat lampu merah, banyak anak jalanan yang mendatangi
pemakai jalan raya untuk menawarkan barang dagangannya, ada yang mengamen, dan
mengemis.Hal ini tentu saja mengganggu kenyamanan pemakai jalan raya.
3.
Mengganggu keindahan dan ketertiban kota
Keindahan dan
ketertiban kota tentu saja didukung oleh banyak hal. Jika banyak anak jalanan
yang tinggal di kota menyebabkan keindahan dan ketertiban di kota berkurang.
Hal ini bisa terjadi, karena banyak anak jalanan yang hidup di kolong jembatan,
pinggiran rel kereta api, atau lingkungan yang kumuh untuk berlindung dari
panas dan hujan.
4.
Terbengkalainya pendidikan anak-anak tersebut
Pendidikan merupakan
hal yang terpenting dalam kehidupan kita. Tanpa adanya ilmu, tentu kita tidak
akan bisa menjalani kerasnya hidup ini. Bagi anak yang berusia 6-15 tahun,
sebenarnya berhak untuk mengenyam pendidikan.Namun tidak bagi anak jalanan,
karena faktor ekonomi keluarga, mereka putus sekolah dan turun ke jalanan untuk
bekerja agar bisa bertahan hidup.
5.
Mengundang pola urbanisasi yang tinggi, serta mendorong tindakan-
tindakan kriminal di jalan raya.
Urbanisasi merupakan
perpindahan penduduk dari desa ke kota. Banyak penduduk desa yang
berbondong-bondong ke kota untuk mencari pekerjaan. Mereka berpikir
mencari pekerjaaan di kota itu mudah. Namun pada kenyatannya, tanpa dibekali
keterampilan dan keahlian khusus, mereka akan sulit untuk mendapatkan
pekerjaan. Dampak dari adanya anak jalanan yaitu pola urbanisasi yang tinggi
Hal ini bisa terjadi karena anak jalanan yang pulang ke kampung asli
mengiming-imingi penduduk desa kalau hidup di kota itu enak.
6.
Masa depan bangsa dipertanyakan
Anak bangsa merupakan
generasi muda penerus bangsa untuk menjadikan bangsa ke arah yang lebih
baik.Untuk bisa menjadikan bangsa yang berkualitas, damai, makmur, sejahtera
diperlukan penduduk yang berkualitas juga.Namun ironisnya, banyak anak bangsa
yang seharusnya mengenyam pendidikan malah berprofesi menjadi anak jalanan.
Jika jumlah anak jalanan terus bertambah, maka masa depan bangsa ini perlu dipertanyakan.
Didalam kegiatannya, peredaran anak jalan
itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada suatu lembaga ilegal yang terus
mendorong anak jalanan agar terus tumbuh dan berkembang demi keuntungan pribadi
semata.Dimana mereka diajarkan bagaimana meminta-minta, mereka harus memberikan
uang setoran kepada “BOS”. Selain itu, tingkat pendidikan yang minim membuat
mind set mereka dapat di setting sedemikian rupa oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Dengan beragam iming-iming, mereka perlahan dikeluarkan dari
ajaran agamanya. Yang menjadi sasaran, kebanyakan adalah anak-anak usia sekolah
dasar. Biasanya anak-anak itu diiming-imingi makanan, uang, janji kehidupan
yang lebih baik, janji disekolahkan dan lain lain.
Dari lika-liku kehidupan anak jalanan,
dapat disimpulkan bahwa masalah krisis ekonomi dapat memicu masyarakat menjadi
kehilangan arah dan tidak terkendali, seperti maraknya anak jalanan.Dimana
pekerjaan sebagai anak jalanan menjadi pekerjaan yang wajar karena bagi mereka
kehidupan dijalan raya menjadi lahan yang subur untuk mendapatkan uang.Mereka
menganggap bahwa dengan merengek, memelas dan mengamen dijalan raya dapat
membuat mereka mendapatkan uang dengan mudah.Dukungan dari orang tua membuat
mereka tetap bertahan dengan keadaan seperti ini.Para anak jalanan pun
sepertinya bahagia saja menjalani kehidupan tersebut.
3.5.1 Pengaruh
Lingkungan Terhadap Perilaku Sosial Anak Jalanan
Perilaku anak jalanan selalu berada
dalam situasi rentan dalam segi perkembangan fisik, mental, sosial bahkan nyawa
mereka. melalui stimulasi tindakan kekerasan terus menerus, terbentuk sebuah
nilai-nilai baru yang cenderung mengedepankan kekerasan sebagai cara untuk mempertahakan
hidup. Ketika memasuki usia dewasa, kemungkinan mereka akan menjdai salah satu
pelaku kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak jalanan lainnya. Disamping
itu anak jalanan dengan keunikan kerangka budayanya, memiliki tindak komunikasi
yang berbeda dengan anak yang normal.komunikasi intra budaya anak jalanan dapat
menjelaskan tentang proses, pola, perilaku, gaya, dan bahasa yang digunakan
mereka. aspek-aspek tersbut tampak manakala berkomunikasi sesama teman,
keluarga, petugas keamanan dan ketertiban, pengurus rumah singgah, dan lembaga
pemerintah.
Anak jalanan yang sudah terbiasa dalam
lingkungan rumah singgah dan anak jalanan yang “liar”, memiliki perilaku yang
berbeda dan komunikasi yang berbeda.Perilaku
komunikasi interpersonal sendiri berlangsung dalam situasi; memaksa,
otoritatif, konflik, mengganggu (teasing), membiarkan
(bebas), sukarela, dan rayuan. Komunikasi interpersonal melalui pesan
verbal dan nonverbal, secara spesifik disesuaikan dengan kepentingan dalam
menjalankan aktivitas di jalanan. Pesan verbal mayoritas berupa
istilah/kata; yang berhubungan dengan kekerasan/konflik, panggilan khas
(sebutan) kepada orang atau konteks jalanan, aktivitas jalanan dan pekerjaan.
Pesan nonverbal yang disampaikan berbentuk: gestural, intonasi
suara, mimik muka (facial), artifaktual, isyarat bunyi,
pakaian (fashion), panataan pakaian/asesoris (grooming) dan
penampilan (manner). Anak jalanan memaknai peran diri dalam
keluarga dan masyarakat, sebagai inidividu yang mandiri (tanggung jawab pada diri
dan keluarga), otonom (berusaha melepasakan ketergantungan), dan individu
yang berusaha memiliki relasi sosial dalam konteks di jalanan.
Konstruksi makna peran diri itu sendiri dibangun secara kreatif
dan dinamis di dalam interaksi sosial anak dengan orang-orang dalam
lingkungan jalanan. Selanjutnya, hasil interaksi sosial anak-anak dengan
orang-orang dalam lingkungannya membentuk konstruksi makna secara
subyektif dan obyektif tentang orang dewasa, aturan dan prinsip-prinsip yang
berkembang dalam konteks jalanan.
Dengan demikian, perilaku social anak
jalanan dengan masyarakat tidak baik, karena perubahan sikap, cara
komunikasi yang kasar, memaksa, brutal, tata cara bicara yang buruk, gaya
bahasa, pakaian yang tidak rapi, rambut yang di warnai membuat masyarakat tidak
senang dengan anak jalanan.
BAB IV
PENUTUP
Penyebab
utama meningkatnya jumlah anak jalanan adalah kemiskinan. Seiring menjamurnya
anak jalanan banyak masalah yang muncul dan harus dihadapi oleh para anak
jalanan, diantaranya terjadinya kekerasan pada anak jalanan, eksploitasi dan
seks bebas di usia dini, serta merebaknya tindak kriminal. Selain itu, dampak
meningkatnya anak jalan membawa mimpi buruk bagi pemerintah dan masyarakat,
serta masa depan bangsa dapat dipertanyakan seiring fenomena tersebut, juga
bagi kehidupan sosial anak jalanan itu sendiri.
4.2 Saran
Untuk menyelesaikan masalah anak jalanan, saya menyarankan
sebaiknya Negara mempunyai kewajiban untuk membebaskan mereka dari kemiskinan.
kemiskinan jangan dipakai sebagai kambing hitam, tetapi kemiskinan structural,
tindakan-tindakan Negara yang harus melindungi mereka baik itu di jalanan,
melindungi mereka dari hak-hak mereka mendapat akses pendidikan dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA