Tuesday, May 12, 2015

PERANAN PARPOL KOALISI DALAM PEMBANGUNAN BANGSA INDONESIA PADA PEMERINTAHAN PRESIDEN JOKOWI

BAB I
PENDAHULUAN


1.1              Latar Belakang
Dalam berbagai studi memperlihatkan bahwa koalisi partai dalam sistem presidensial adalah fenomena yang sama lazimnya dengan sistem parlementer. Studi Cheibub (2007), menunjukkan  bahwa pemerintahan koalisi dalam sistem parlementer terjadi di 39 persen negara, sedangkan koalisi dalam sistem presidensialisme 36,3 persen. Dalam studi komparatif-hitoris juga dapat ditemukan  bahwa di kedua sistem, baik Parlementer maupun Presidensialisme, koalisi berlangsung sebesar lebih dari 50 persen ketika partai presiden tidak memiliki mayoritas di lembaga legislatif. Dengan demikian, ada tidaknya koalisi bukanlah pembeda sistem presidensialisme dan parlementer.
Dalam sistem Presidensialisme, pembentukan koalisi memiliki makna yang sedikit berbeda dengan sistem Parlementer. Ada dua tujuan yang mendasari pembentukan koalisi: Pertama, menggalang dukungan partai dalam proses pencalonan dan pemenangan pemilihan Presiden. Kedua,  mengamankan jalannya (stabilitas) pemerintahan.
Itu artinya koalisi dibentuk untuk memperoleh dukungan politik atas inisiatif dan kebijakan Presiden. Adanya koalisi membuat kebijakan Presiden menjadi lebih predictable dan sederhana dibandingkan dengan hanya mengandalkan dukungan secara ad hoc dari kebijakan yang satu ke kebijakan lainnya.
Namun, model koalisi yang berkembang dalam lima tahun terakhir menunjukkan perilaku  partai dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh dua  karakter:  Karakter pertama, upaya memburu jabatan (office seeking), dimana perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang dalam memperoleh posisi di kabinet-pemerintahan yang akan terbentuk. Karakter kedua, modus pencari suara (vote seeking), dimana elite partai politik dalam membentuk koalisi lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan.


1.2              Rumusan Masalah
a.       Bagaimana definisi dari partai politik?
b.      Bagaimana definisi dari koalisi?
c.       Bagaimana definisi dari pembangunan?
d.      Bagaimana Tujuan, Fungsi  dan Struktur Partai Politik di Indonesia?
e.       Bagaimana sejarah koalisi di Indonesia?
f.       Bagaimana peran Koalisi Partai Politik Dalam Sistem Presidensial Di Indonesia?
1.3              Tujuan Penulisan
a.       Memaparkan definisi dari partai politik
b.      Memaparkan definisi koalisi
c.       Memaparkan definisi pembangunan
d.      Menjelaskan Tujuan, Fungsi  dan Struktur Partai Politik di Indonesia
e.       Memaparkan sejarah koalisi di Indonesia
f.       Memaparkan peran Koalisi Partai Politik Dalam Sistem Presidensial Di Indonesia


















BAB II
PEMBAHASAN


2.1       Definisi Partai Politik
Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam rangka memahami partai politik sebagai salah satu komponen infrastruktur politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai partai politik, yakni:
Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.



2.2       Definisi Koalisi
Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai. 
Dalam hubungan internasional, sebuah koalisi bisa berarti sebuah gabungan beberapa negara yang dibentuk untuk tujuan tertentu. Koalisi bisa juga merujuk pada sekelompok orang/warganegara yang bergabung karena tujuan yang serupa. Koalisi dalam ekonomi merujuk pada sebuah gabungan dari perusahaan satu dengan lainnya yang menciptakan hubungan saling menguntungkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, koalisi diartikan kerja sama (politik) antarpartai politik untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen. (BATAVIASE.CO.ID, 4 Maret 2010). Suara yang dimaksud adalah jumlah person yang bersepakat untuk memutuskan suatu program dalam kerangka kerja pemerintahan.
Ensiklopedi populer politik pembangunan pancasila edisi ke IV (1988:50)2 menjabarkan bahwa, koalisi berasal dari bahasa latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat pengabung. Maka koalisi merupakan “ikatan atau gabungan antara 2 atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah”.Definisi tersebut menunjukan bahwa koalisi dibentuk/terbentuk untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.


2.3       Definisi Pembangunan
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”.
Ginanjar Kartasasmita (1994) Pembangunan yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Portes (1976) Pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.

2.4       Tujuan, Fungsi  dan Sistem Partai Politik di Indonesia
Keberadaan partai politik ini tentunya memiliki fungsinya dalam Negara demokratis .apabila fungsi partai politik berikut ini fungsional maka tidak ada istilah konflik ,kecurangan , pembodohan, dan lainnya.
Partai Politik sebagai  organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Tentunya Partai Politik memiliki tujuan dan fungsi yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yaitu ;

2.4.1       Tujuan Partai Politik
Tujuan umum Partai Politik adalah:
a.        Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.       Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.        Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
d.       Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
b. Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2.4.2       Fungsi Partai Politik
Sesuai dengan isi pada Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945 bahwa Indonesia menganut sistem multi partai yaitu sistem yang pada pemilihan kepala negara atau pemilihan wakil-wakil rakyatnya dengan meelalui pemilihan umum yang diikuti oleh banyak partai.
Di dalam sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Fungsi partai politik sebagai berikut:
a.       Partai sebagai sarana Komunikasi Politik
Partai politik mempunyai tugas adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan inspirasi masyarakat dan mengatur dari pada kesimpangsiuran pendapat dari masyarakat berkurang. Pendapat yang telah disalurkan akan ditampung dan disatuikan agar tercipta kesamaan tujuan.
Proses penggabungan pendapat dan inspirasi tersebut dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah penggabungan tersebut. Sebagaimana yang telah dikemukakan diawal tadi, bagaimana aspirasi masyarakat ini bisa tersalurkan kepada pemerintah, maka disinilah fungsi dari partai politik yang akan menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa.
Oleh Pemerintah Daerah juga harus dapat menampung semua aspirasi masyarakat (asmara) untuk dapat diakomidir yang berasal dari Usul ataupun kebijaksanaan partai dalam anggaran dan diproses sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari musrenbang desa, kecamatan, kab/kota sampai ditingkat pusat dan pada akhirnya merupakan Kebijaksanaan Umum (Public Policy) atau dalam bentuk RPJP/RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Pendek dan Menengah) yang kesemua ini adalah dalam kerangka pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Sebaliknya, partai politik juga dapat menyampaikan dan menginformasikan kepada masyarakat, kegiatan atau program-program pemerintah dalam bentuk Kebijaksanaan Umum, dengan demikian kalau hal ini terjadi, maka akan terciptakan komunikasi politik dari bawah ke atas dan sebaliknya dari atas kebawah, dimana partai politik dapat memainkan peranannya sebagai penghubung antara yang memerintah dengan diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat.
Melihat hal diatas, partai politik dalam menjalankan fungsinya sering disebut sebagai broker (perantara) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas) dan bisa juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar dan bagi warga masyarakat sebagai pengeras suara.
b.      Partai sebagai sarana Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik mencakup suatu proses oleh masyarakat dengan norma-norma dan etika yang ada dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik, untuk dapat menjadi pemenang didalam Pemilihan Umum (Pemilu) serta menguasai pemerintah (dalam artian menjadi kepala daerah, presiden ataupun pimpinan lainnya), partai politik harus bisa mensosialisasikan dan mendapatkan dukungan masyarakat sebanyak mungkin, dengan mengedepankan bahwa partai politik berjuang untuk masyarakat dan kepentingan umum.
Banyak cara/siasat yang dilakukan oleh partai politik untuk mensosialisasikan dirinya, prosesnya melalui ceramah-ceramah penerangan, kursus/pembekalan bagi kader-kader politik, penataran, dengar pendapat baik secara langsung ataupun melalui media massa, baliho/poster-poster yang saat sekarang mudah didapat dan murah biayanya dan lain sebagainya.
Dalam hal ini partai politik sebagai salah satu sarana sosialisasi politik. Dalam menguasai pemerintah melalui kemenangan dalam pemilihan umum, dan partai harus mendapat dukungan secara seluas-luasnya.
c.       Partai sebagai sarana Recruitment Politik
Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political recruitment).
Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik. Caranya dengan melalui kotak pribadi, persuasi dan lain-lain. Dan partai politik juga, berfungsi juga dalam mendidik kader-kader muda untuk menggantikan kader yang lama.
d.      Partai sebagai sarana Pengatur Konflik
Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha dalam mengatasinya.
Dalam praktek politik sering dilihat bahwa kadang-kadang fungsi tersebut tidak dilaksanakan seperti yang diharapkan, misalnya informasi yang diberikan justru menimbulkan kegelisahan dan perpecahan dalam masyarakat, yang diutamakan bukanlah kepentingan daerah atau nasional, tetapi kepentingan partai yang sempit dengan akibat adanya pengkotakan politik atau konflik tidak diselesaikan akan tetapi malam dipertajam, seperti yang kita lihat di media massa, adanya program-program siaran yang berkaitan dengan kisruh politik, muatan malahan berisikan dan mengungkit/mempertajam permasalahan dan bukannya menyelesaikan permasalahan, dan inilah ditonton oleh khalayak ramai (publik).

2.4.3       Sistem Partai Politik Indonesia
Sistem multi-partai
Dalam pelaksanaanya, perlu dibentuk pemerintahan koalisi dari beberapa partai karena tidak ada partai yang cukup kuat untuk memebentuk suatu pemerintahan yang mandiri. Adakalanya usaha membentuk pemerintah koalisi mengalami kegagalan karena partai-partai yang berupaya membentuk pemerintah koalisi tidak mencapai persetujuan.
Didalam perhelatan demokrasi tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita mendengar atau menyaksikan di layar televisi adanya Koalisi partai, karena memang kesempatan untuk memenangkan pemilihan rata-rata di raih oleh parpol yg berkoalisi. pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Sistem multi partai dianut karena keanekaragaman yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai negar kepulaaan yang di dalamnya terdapat perbedaan ras, agama, atau suku bangsa adalah kuat,golongan-golongan masyarakat lebih cenderung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas (primodial) tadi dalam saru wadah saja.
Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multi partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik.
Adapun keuntungan adanya koalisi yaitu : 
a.                            Bagi parpol akan menjadikan koalisi sebagai penyatuan kekuatan, ibarat sapu lidi yg satu demi satu setelah digabung menjadi satu akan kuat dan kokoh. 
b.                           Akan mampu mewakili berbagai kepentingan di dalam Parpol itu sendiri., istilahnya bagi hasil nantinya jika sudah menang. Mungkin keuntingan koalisi ini hanya mengarah kepada kepentingan parpol itu saja.
c.                            Dengan adanya koalisi kemungkinan partai koalisi akan mendukung jalannya pemerintahan, sehingga tercipta kerja sama yang baik untuk kemajuan bangsa. 
Kerugian adanya koalisi : 
Sudah jelas jika koalisi yang sudah dibahas, maka setelah parpol koalisi menang tentu kursi jabatan akan di bagi juga, yang mengkawatirkan adalah mereka lupa kepada kewajiban mereka untuk mengabdi kepada bangsa ini, karena mereka hanya sibuk dengan urusan menjaga keutuhan di dalam kubu koalisinya. mereka sibuk memenuhi janji-janjinya kepada partai yang berkoalisi itu. jadi sisi kepentingan partai terlalu domianan. 
Tidak semua koalisi bersifat permanen, tapi malah setelah berjalannya pemerintahan, partai ini melepaskan diri dari koalisi sehingga itu akan menyebabkan kurangnya dukungan terhadap pemerintahan yang ada. 



2.5       Sejarah Koalisi Di Indonesia
Tahun 1999 ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN dan PPP guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai parpol. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi – PSI, tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan  tahun 1952-1953 (Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi – PNI. (Alfian, 1981; Ricklefs, 2005; Mashad, 2008; Kiswanto, 2008).
Secara umum koalisi yang berlangsung pada masa Orde Lama (Orla) bersifat front, seperti koalisinya Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Nahdlatul Ulama (NU) bekerja sama untuk melawan musuh bersama, imperialisme. Di pihak lain ada juga parpol dan ormas yang bekerja sama dengan militer yang kontrarevolusi dan mendukung imperialisme. Hal terpenting yang menjadi ciri koalisi pada masa Orla adalah kerja samanya sama sekali tidak terkait dengan kepemimpinan seseorang, tetapi lebih pada tujuan.
Pada masa Orba, koalisi terjadi di bawah kepemimpinan negara. Walaupun pada saat itu yang terjadi sebenarnya bukan koalisi melainkan peleburan parpol dan juga ormas yang dipaksakan oleh pemerintah di bawah Presiden Soeharto. Peleburan ini efektif dilakukan setelah pelaksanaan Pemilu 1971, dimana dari sembilan partai politik yang ada, dikerdilkan menjadi tiga kekuatan politik saja. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan dari partai-partai Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), gabungan dari partai-partai berhaluan nasionalis dan agama non-Islam, serta Golong Karya (Golkar). Ini mengindikasikan bahwa PPP mewakili konstituen Islam, PDI mewakili konstituen nasionalis, sedangkan Golkar yang merupakan partai rezim Orba mewakili semua golongan dan juga militer.
Setelah tumbangnya Orba membuat jumlah parpol peserta pemilu 1999 tak hanya tiga parpol, ada 48 parpol yang terdaftar sebagai peserta pemilu. Pada era ini, koalisi pragmatis terjadi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memilih presiden dan wakil presiden (wapres). Untuk mengganjal Megawati dan Baharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden, sejumlah tokoh islam yang diprakarsai Amien Rais membentuk poros tengah. Poros ini mengajukan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden (capres) alternatif di luar Mega dan Habibie. Melalui pemilihan di MPR, upaya poros tengah tersebut akhirnya berhasil. Gus Dur terpilih sebagai presiden, sedangkan Megawati sebagai wapres. Namun usia kesolidan Poros Tengah tidak berlangsung lama, penyebab utamanya tidak meratanya pembagian kue kekuasaan.
Kemudian tahun 2004 terbentuk Koalisi Kebangsaan untuk mendukung pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri–Hasyim Muzadi dan Koalisi Kerakyatan untuk mendukung pasangan capres–cawapres Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla. Tetapi, kedua koalisi ini pun dalam perkembangannya tidaklah solid bahkan cenderung mencair.
Terlepas dari berbagai regulasi mengenai koalisi point penting terhadap masalah ini adalah sejauh mana para pemimpin bangsa sungguh-sungguh bertanggung jawab dan berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyat, dan hal tersebut barangkali masih merupakan pertanyaan besar. Begitupula, kualitas demokrasi dan tata-pemerintahan mungkin masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya.

2.6       Peranan Parpol Koalisi Dalam Pembangunan Bangsa Indonesia Pada Pemerintahan Presiden Jokowi
Sistem presidensial di Indonesia menjadi menarik untuk diperbincangkan karena sekaligus menerapkan sistem multipartai. Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensial Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan (dominant party) menjadi sistem kepartaian majemuk (multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensial (Isra, 2009).
Presiden dan anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat, yang berarti Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, atau sebaliknya. Posisi yang seimbang ini di tujukan agar terjadi keseimbangan dalam pemerintahan. Namun pemerintahan menjadi kontra produktif ketika mayoritas anggota DPR menentukan pilihan politik yang berbeda dengan Presiden.
2.6.1         Polemik  parpol koalisi di Indonesia
Kekhawatiran sulitnya menyandingkan multipartai dengan sistem presidensial dikemukakan sejumlah ahli, diantaranya Scott Mainwaring10 (1993) mengatakan bahwa kombinasi dari sistem multipartai dan sistem presidensial kurang kondusif untuk stabilitas demokrasi karena dengan mudah menciptakan kesulitan dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif karena kedua-duanya sama-sama dipilih dan mendapatkan mandat langsung oleh rakyat. Bahkan, Bagir Manan11 menyatakan bahwa tidak seharusnya koalisi dilakukan di Indonesia. Koalisi itu menurutnya menyebabkan kerancuan sistem pemerintahan di Indonesia.
Dalam pandangan Maurice Duverger (1954), koalisi suatu pemerintahan tidak cocok untuk membangun pemerintahan yang efektif dan stabil. Dalam pandangan dia, suatu pemerintahan yang stabil membutuhkan prasyarat sistem dua partai itu. Hal ini didasarkan pada pengalaman Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Meski demikian, pandangan Duverger ditolak Arend Lijphart (1977). Berdasarkan studi seriusnya di Belanda, Lijphart berpendapat, masyarakat plural yang menganut sistem multipartai bisa memiliki sistem pemerintahan demokratis yang stabil saat mereka mengembangkan demokrasi konsensus (consociational democracy). Masalahnya, sejarah politik Indonesia juga mencatat, bangunan demokrasi konsensus melalui koalisi itu selama ini belum efektif. Pada 1950-an, pemerintahan koalisi tidak berlangsung lama.
Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh, dalam tulisan “Government Coalitions and Legislative Succes Under Presidentialism and Parliamentarism” juga mencatat banyak pendapat yang meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam sistem multipartai.
Oleh karena itu, untuk menjaga suara di DPR maka Presiden melakukan koalisi dengan sejumlah partai. Imbalan dari dukungan partai koalisi di legislative itu adalah ditempatkannya sejumlah orang petinggi partai koalisi di Kabinet Eksekutif dengan pembagian (biasanya) berdasarkan persentase suara di DPR. Namun, koalisi partai tersebut tidak membuat masalah menjadi lebih mudah. Sebagaimana diutarakan Scott Mainwaring, bahwa pembentukan koalisi dalam sistem presidensial jauh lebih sulit dibandingkan koalisi dalam sistem parlementer. Kesulitan itu terjadi karena dalam sistem presidensial, koalisi secara kelembagaan tidak diperlukan dan sistem presidensial tidak kondusif untuk kerjasama politik, kalaupun terbentuk koalisi dalam sistem presidensial lebih rapuh (vulnerable) dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer.
Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri sampai era SBY-JK praktik sistem presidensial di Indonesia selalu menghadirkan minority government. Sebagaimana diketahui, hasil Pemilu 1999 tidak menghasilkan partai politik pemenang suara mayoritas di DPR (juga di MPR). Sebagai pemenag pemilu, PDI Perjuangan (PDI-P) hanya memperoleh 153 kursi (33,7%) dari 500 kursi DPR. Dengan hasil itu, hampir mustahil bagi PDI-P meloloskan ketua umumnya menjadi presiden tanpa dukungan partai politik lain. Ironisnya, kata Syamsuddin Haris, hampir tidak ada inisiatif politik dari Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI P –sekaligus calon presiden yang direkomendasikan oleh Kongres PDI-P di Bali-- untuk menggalang dukungan dan kerja sama politik dengan partai politik lain di luar PDIP.
Sikap percaya diri PDI-P dan Megawati Soekarnoputri mendorong elit politik partai politik berbasis Islam dan berbasis ormas Islam seperti PPP, PAN, PBB, dan Partai Keadilan (PK) yang dirancang oleh Ketua Umum PAN Amin Rais membentuk koalisi yang dikenal sebagai Poros Tengah. Sebagai calon alternatif di luar B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri, Poros Tengah mengusung Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Langkah Poros menjadi lebih mudah karena laporan pertanggungjawaban B.J. Habibie ditolak oleh MPR dalam Sidang Umum MPR pada bulan Oktober 1999. Ketika Poros Tengah berhasil mendorong Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, koalisi menjadi pilihan tak terhindarkan dan koalisi semakin besar dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri menjadi Wakil Presiden. Bagaimanapun koalisi yang dibangun presiden yang tidak punya dukungan mayoritas di lembaga legislatif dapat dikatakan sebagai sebuah langkah darurat.
Langkah darurat itu pula yang dilakukan Presiden SBY sebagai presiden minoritas (minority president sekaligus menghasilkan praktik sistem pemerintahan presidensialyang minority government) dengan hanya didukung modal awal 12 persen suara di DPR. Untuk memperbesar dukungan di DPR, SBY-JK merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat, PBB dan PKPI, yaitu PKS, PPP, PAN, Partai Golkar, dan PKB. Sekalipun berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 pengangkatan menteri negara merupakan hak prerogatif Presiden, sebagaimana kecenderungan koalisi dalam sistem presidensial yang dikemukakan Cheibub sebelumnya, langkah yang dilakukan Presiden SBY adalah membagi jabatan menteri kepada sejumlah partai politik yang menjadi bagian dari koalisi SBY-JK.
Namun langkah itu tetap tidak mengehentikan ketegangan antara Presiden Yudhoyono dengan DPR. Bahkan, ketegangan Presiden Yudhoyono dan DPR sudah terjadi sejak bulan-bulan pertama masa pemerintahan Yudhoyono. Dengan ketegangan itu, koalisi yang dibangun Presiden Yudhoyono tidak banyak membantu memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di DPR. Masalah itu diakui secara terbuka oleh Presiden Yudhoyono bahwa dengan merangkul banyak partai politik, logikanya, setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan DPR. Nyatanya, dukungan itu tidak terjadi. Dukungan yang dimaksudkan Presiden Yudhoyono tersebut tidak hanya kebijakan dalam fungsi legislasi, tetapi untuk kebijakan non-legislasi.
2.6.2  Parpol Koalisi Pemerintahan Jokowi
Koalisi partai merupakan proses interaksi simbolik, di mana simbol yang dipertukarkan dalam hal ini adalah visi dan misi partai yang saling disesuaikan untuk mencapai kesepakatan  bersama. Kesepakatan ini mengarah pada adanya kontrak politik, di mana dalam koalisi juga ditetapkan pembagian jatah kursi kekuasaan. Kelompok Jokowi memunculkan impresi koalisi yang dibangun atas dasar profesionalitas. Jokowi yang dicitrakan sebagai sosok nasionalis dan  pluralis akan terus diserang dengan isu agama.
Walaupun PKB berada bersama Jokowi, basis massa PKB adalah golongan moderat yang tidak terlalu menanggapi perbedaan agama, sehingga tidak cukup mampu memunculkan citra Jokowi sebagai muslim sejati versi  pandangan kaum puritan. Namun kita belum dapat menduga manuver politik apa yang akan dilakukan oleh PDI-P dan rekan koalisinya.
Koalisi tidak berarti penggabungan ideologi, melainkan hanya bentuk fisiknya saja, sehingga dapat dikatakan bahwa koalisi hanya bersifat momentum semata atau insidental, lebih jauh lagi koalisi tidak bersifat menetap. Walaupun demikian koalisi  tidak berarti terjadinya power sharing, karena hal itu sangat bergantung pada sistem pemerintahan yang dianut, sehingga koalisi akan sangat bermanfaat jika sistem pemerintahan yang dipakai adalah sistem parlementer, tetapi akan sangat bergantung pada presiden terpilih jika sistem yang dipakai adalah sistem presidensial.
Koalisi dilakukan dengan sistem multi partai dengan harapan terjadi penggabungan suara pemilih, hal itu berakibat koalisi dilakukan dengan tujuan terjadinya sharing kekuasan jika presiden terpilih dari koalisi tersebut. Sistem proporsional yang dilakukan menyebabkan sewaktu pemilu untuk memilih legislator partai-partai politik tersebut bisa saja bertentangan, tetapi sewaktu koalisi untuk pemilu presiden mereka bergabung dengan tujuan untuk power sharing. Akibatnya koalisi yang terjadi lebih bersifat untuk mencari dan mempertahankan kepentingan.
Bagi parpol, sebuah koalisi akan menjadi suatu penyatuan kekuatan, ibarat sapu lidi yg satu demi satu setelah digabung menjadi satu akan kuat dan kokoh, mampu mewakili berbagai kepentingan di dalam Parpol itu sendiri, dan banyak mendukung jalannya pemerintahan, sehingga tercipta kerja sama yang baik untuk kemajuan bangsa. Tapi, ketika parpol koalisi menang, tentu kursi jabatan akan di bagi juga, yang mengkawatirkan adalah mereka lupa kepada kewajiban mereka untuk mengabdi kepada bangsa ini, karena mereka hanya sibuk dengan urusan menjaga keutuhan di dalam kubu koalisinya, dan tidak memenuhi janji-janjinya kepada partai yang berkoalisi itu. Tidak semua koalisi bersifat permanen, tapi malah setelah berjalannya pemerintahan, partai ini melepaskan diri dari koalisi sehingga itu akan menyebabkan kurangnya dukungan terhadap pemerintahan.
Secara ideologis, partai politik pada umumnya menggunakan “Pancasila” sebagai ideologinya. Ideologi ini adalah ideologi negara yang seringkali diadopsi dan ditempelkan pada atribut-atribut tertentu seperti agama.
Partai politik di Indonesia saat ini memiliki ciri yang mirip dengan partai politik di Filipina. Ciri tersebut antara lain: lemahnya program politik, tingginya tingkat  perpindahan kader dari satu partai ke partai lainnya (biasanya disebut sebagai kutu loncat dalam bahasa media massa), koalisi singkat bergantung pada momentum  politik, partai hanya aktif pada masa pemilu, kepemimpinan politik berjarak antara elit dan massa (Rocamora 2000; Arlegue Coronel 2003; Tee-hankee 2006). Kelemahan tambahan bagi partai politik di Indonesia adalah lemah secara organisasional dan rentan secara ketokohan karena sangat  bergantung terhadap figur (Liddle, Mujani. 2006)






























BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Partai politik merupakan Sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”.
Sebuah koalisi akan menjadi suatu penyatuan kekuatan, ibarat sapu lidi yg satu demi satu setelah digabung menjadi satu akan kuat dan kokoh, mampu mewakili berbagai kepentingan di dalam Parpol itu sendiri, dan banyak mendukung jalannya pemerintahan, sehingga tercipta kerja sama yang baik untuk kemajuan bangsa. Tapi, ketika parpol koalisi menang, tentu kursi jabatan akan di bagi juga, yang mengkawatirkan adalah mereka lupa kepada kewajiban mereka untuk mengabdi kepada bangsa.
3.2       Saran
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa sistem presidensial multipartai yang terjadi di Indonesia nerupakan bagian dari proses demokratisasi pasca Orde  baru, sehingga koalisi merupakan wadah sementera yang dibentuk untuk melakukan konsolidasi ulang kekuasaan yang tersebar. Koalisi  partai politik tidak dapat diharapkan sebagai instrumen stabilitas, melainkan lokalisasi atau pewadahan bagi perseteruan politik dalam mekanisme multipartai. Para pengamat politik di era reformasi atau era demokratisasi ini harus segera menanggalkan pandangan Statism  (Negara Sentrist) untuk memahami proses demokratisasi dan fenomena ketidakutuhan dari sistem demokrasi itu sendiri.

Pada akhirnya, bukan koalisi partai politik yang seharusnya dipersoalkan namun lebih mendasar lagi fungsi partai politik yang harus kembali dipermasalhkan dan direkonstruksi ulang melalui paradigma demokratis agar pembangunan di segala bidang dapat berjalan sesuai dengan cita-cita Pancasila.

No comments:

Post a Comment