BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam
berbagai studi memperlihatkan bahwa koalisi partai dalam sistem presidensial
adalah fenomena yang sama lazimnya dengan sistem parlementer. Studi Cheibub
(2007), menunjukkan bahwa pemerintahan koalisi dalam sistem parlementer
terjadi di 39 persen negara, sedangkan koalisi dalam sistem presidensialisme
36,3 persen. Dalam studi komparatif-hitoris juga dapat ditemukan bahwa di
kedua sistem, baik Parlementer maupun Presidensialisme, koalisi berlangsung
sebesar lebih dari 50 persen ketika partai presiden tidak memiliki mayoritas di
lembaga legislatif. Dengan demikian, ada tidaknya koalisi bukanlah pembeda
sistem presidensialisme dan parlementer.
Dalam
sistem Presidensialisme, pembentukan koalisi memiliki makna yang sedikit
berbeda dengan sistem Parlementer. Ada dua tujuan yang mendasari pembentukan
koalisi: Pertama, menggalang dukungan partai dalam proses pencalonan dan
pemenangan pemilihan Presiden. Kedua, mengamankan jalannya (stabilitas)
pemerintahan.
Itu
artinya koalisi dibentuk untuk memperoleh dukungan politik atas inisiatif dan
kebijakan Presiden. Adanya koalisi membuat kebijakan Presiden menjadi lebih
predictable dan sederhana dibandingkan dengan hanya mengandalkan dukungan
secara ad hoc dari kebijakan yang satu ke kebijakan lainnya.
Namun,
model koalisi yang berkembang dalam lima tahun terakhir menunjukkan perilaku
partai dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh dua
karakter: Karakter pertama, upaya
memburu jabatan (office seeking), dimana perilaku partai dalam membangun
koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang dalam
memperoleh posisi di kabinet-pemerintahan yang akan terbentuk. Karakter kedua,
modus pencari suara (vote seeking), dimana elite partai politik dalam membentuk
koalisi lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan.
1.2
Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
definisi dari partai politik?
b. Bagaimana
definisi dari koalisi?
c. Bagaimana
definisi dari pembangunan?
d. Bagaimana
Tujuan, Fungsi
dan Struktur Partai Politik di Indonesia?
e. Bagaimana
sejarah koalisi di Indonesia?
f. Bagaimana
peran Koalisi Partai Politik Dalam Sistem Presidensial Di Indonesia?
1.3
Tujuan
Penulisan
a. Memaparkan
definisi dari partai politik
b. Memaparkan
definisi koalisi
c. Memaparkan
definisi pembangunan
d.
Menjelaskan Tujuan,
Fungsi dan Struktur Partai Politik di
Indonesia
e. Memaparkan sejarah koalisi di Indonesia
f. Memaparkan
peran Koalisi Partai Politik Dalam Sistem Presidensial Di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Partai Politik
Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani
elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara
yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan
politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik,
dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam rangka memahami partai politik sebagai salah satu komponen infrastruktur politik dalam negara, berikut beberapa
pengertian mengenai partai politik, yakni:
Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir
secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah
bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
b. R.H. Soltou
Partai Politik adalah sekelompok warga
negara yang sedikit banyaknya
terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan
memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan
kebijakan umum mereka.
Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis Politik yang
berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas
dasar persaingan melawan golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama
dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.
2.2
Definisi Koalisi
Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau
aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki
kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara
atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah
pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi
beberapa partai.
Dalam hubungan internasional, sebuah koalisi bisa
berarti sebuah gabungan beberapa negara yang dibentuk untuk tujuan tertentu.
Koalisi bisa juga merujuk pada sekelompok orang/warganegara yang bergabung
karena tujuan yang serupa. Koalisi dalam ekonomi merujuk pada sebuah gabungan
dari perusahaan satu dengan lainnya yang menciptakan hubungan saling
menguntungkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, koalisi
diartikan kerja sama (politik) antarpartai politik untuk memperoleh kelebihan
suara di parlemen. (BATAVIASE.CO.ID, 4 Maret 2010). Suara yang dimaksud adalah
jumlah person yang bersepakat untuk memutuskan suatu program dalam kerangka
kerja pemerintahan.
Ensiklopedi
populer politik pembangunan pancasila edisi ke IV (1988:50)2 menjabarkan bahwa,
koalisi berasal dari bahasa latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat
pengabung. Maka koalisi merupakan “ikatan atau gabungan antara 2 atau beberapa
negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau beberapa partai/fraksi dalam
parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah”.Definisi
tersebut menunjukan bahwa koalisi dibentuk/terbentuk untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu.
2.3 Definisi Pembangunan
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang
pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan
yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan
pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”.
Ginanjar Kartasasmita (1994) Pembangunan yaitu
sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang
dilakukan secara terencana”.
Portes (1976) Pembangunan sebagai transformasi
ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang
direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
2.4 Tujuan, Fungsi dan Sistem Partai Politik di Indonesia
Keberadaan partai politik ini tentunya memiliki fungsinya
dalam Negara demokratis .apabila fungsi partai politik berikut ini fungsional
maka tidak ada istilah konflik ,kecurangan , pembodohan, dan lainnya.
Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tentunya Partai Politik memiliki tujuan dan fungsi yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yaitu ;
2.4.1 Tujuan Partai Politik
Tujuan umum Partai Politik adalah:
a.
Mewujudkan
cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
b. Menjaga dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.
Mengembangkan
kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
d. Mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a. Meningkatkan partisipasi politik
anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan
pemerintahan;
b. Memperjuangkan cita-cita Partai
Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c. Membangun etika dan budaya
politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.4.2 Fungsi Partai Politik
Sesuai dengan isi pada Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh
UUD 1945 bahwa Indonesia menganut sistem multi partai yaitu sistem yang pada
pemilihan kepala negara atau pemilihan wakil-wakil rakyatnya dengan meelalui
pemilihan umum yang diikuti oleh banyak partai.
Di dalam sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Fungsi
partai politik sebagai berikut:
a.
Partai sebagai sarana
Komunikasi Politik
Partai politik mempunyai tugas adalah menyalurkan aneka ragam
pendapat dan inspirasi masyarakat dan mengatur dari pada kesimpangsiuran
pendapat dari masyarakat berkurang. Pendapat yang telah disalurkan akan
ditampung dan disatuikan agar tercipta kesamaan tujuan.
Proses penggabungan pendapat dan inspirasi tersebut dinamakan
penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah penggabungan tersebut.
Sebagaimana yang telah dikemukakan diawal tadi, bagaimana aspirasi masyarakat
ini bisa tersalurkan kepada pemerintah, maka disinilah fungsi dari partai
politik yang akan menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan
mengaturnya sedemikian rupa.
Oleh Pemerintah Daerah juga harus dapat menampung semua
aspirasi masyarakat (asmara) untuk dapat diakomidir yang berasal dari Usul
ataupun kebijaksanaan partai dalam anggaran dan diproses sesuai dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku, mulai dari musrenbang desa, kecamatan,
kab/kota sampai ditingkat pusat dan pada akhirnya merupakan Kebijaksanaan Umum
(Public Policy) atau dalam bentuk RPJP/RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Pendek
dan Menengah) yang kesemua ini adalah dalam kerangka pelaksanaan pembangunan
dan penyelenggaraan pemerintahan. Sebaliknya, partai politik juga dapat
menyampaikan dan menginformasikan kepada masyarakat, kegiatan atau program-program
pemerintah dalam bentuk Kebijaksanaan Umum, dengan demikian kalau hal ini
terjadi, maka akan terciptakan komunikasi politik dari bawah ke atas dan
sebaliknya dari atas kebawah, dimana partai politik dapat memainkan peranannya
sebagai penghubung antara yang memerintah dengan diperintah, antara pemerintah
dan warga masyarakat.
Melihat hal diatas, partai politik dalam menjalankan
fungsinya sering disebut sebagai broker (perantara) dalam suatu bursa ide-ide
(clearing house of ideas) dan bisa juga dikatakan bahwa partai politik bagi
pemerintah bertindak sebagai alat pendengar dan bagi warga masyarakat sebagai
pengeras suara.
b.
Partai sebagai sarana
Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik mencakup suatu proses oleh masyarakat
dengan norma-norma dan etika yang ada dari satu generasi kegenerasi berikutnya.
Partai politik berfungsi sebagai salah satu sarana sosialisasi politik, untuk
dapat menjadi pemenang didalam Pemilihan Umum (Pemilu) serta menguasai
pemerintah (dalam artian menjadi kepala daerah, presiden ataupun pimpinan
lainnya), partai politik harus bisa mensosialisasikan dan mendapatkan dukungan
masyarakat sebanyak mungkin, dengan mengedepankan bahwa partai politik berjuang
untuk masyarakat dan kepentingan umum.
Banyak cara/siasat yang dilakukan oleh partai politik untuk
mensosialisasikan dirinya, prosesnya melalui ceramah-ceramah penerangan,
kursus/pembekalan bagi kader-kader politik, penataran, dengar pendapat baik
secara langsung ataupun melalui media massa, baliho/poster-poster yang saat
sekarang mudah didapat dan murah biayanya dan lain sebagainya.
Dalam hal ini partai politik sebagai salah satu sarana
sosialisasi politik. Dalam menguasai pemerintah melalui kemenangan dalam
pemilihan umum, dan partai harus mendapat dukungan secara seluas-luasnya.
c.
Partai sebagai sarana
Recruitment Politik
Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak
orang yang berbakat untuk turut dalam kegiatan politik sebagai anggota partai
(political recruitment).
Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politik.
Caranya dengan melalui kotak pribadi, persuasi dan lain-lain. Dan partai
politik juga, berfungsi juga dalam mendidik kader-kader muda untuk menggantikan
kader yang lama.
d.
Partai sebagai sarana Pengatur
Konflik
Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat
dalam masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai
politik berusaha dalam mengatasinya.
Dalam praktek politik sering dilihat bahwa kadang-kadang
fungsi tersebut tidak dilaksanakan seperti yang diharapkan, misalnya informasi
yang diberikan justru menimbulkan kegelisahan dan perpecahan dalam masyarakat,
yang diutamakan bukanlah kepentingan daerah atau nasional, tetapi kepentingan
partai yang sempit dengan akibat adanya pengkotakan politik atau konflik tidak
diselesaikan akan tetapi malam dipertajam, seperti yang kita lihat di media
massa, adanya program-program siaran yang berkaitan dengan kisruh politik,
muatan malahan berisikan dan mengungkit/mempertajam permasalahan dan bukannya
menyelesaikan permasalahan, dan inilah ditonton oleh khalayak ramai (publik).
2.4.3 Sistem Partai Politik
Indonesia
Sistem multi-partai
Dalam pelaksanaanya, perlu dibentuk pemerintahan koalisi dari
beberapa partai karena tidak ada partai yang cukup kuat untuk memebentuk suatu
pemerintahan yang mandiri. Adakalanya usaha membentuk pemerintah koalisi
mengalami kegagalan karena partai-partai yang berupaya membentuk pemerintah
koalisi tidak mencapai persetujuan.
Didalam perhelatan demokrasi tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita
mendengar atau menyaksikan di layar televisi adanya Koalisi partai, karena memang
kesempatan untuk memenangkan pemilihan rata-rata di raih oleh parpol yg
berkoalisi. pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Sistem multi partai dianut karena keanekaragaman yang dimiliki oleh
negara Indonesia sebagai negar kepulaaan yang di dalamnya terdapat perbedaan
ras, agama, atau suku bangsa adalah kuat,golongan-golongan masyarakat lebih
cenderung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas (primodial) tadi dalam saru
wadah saja.
Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem
multi partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik.
Adapun keuntungan adanya koalisi yaitu
:
a.
Bagi parpol akan menjadikan koalisi sebagai
penyatuan kekuatan, ibarat sapu lidi yg satu demi satu setelah digabung menjadi
satu akan kuat dan kokoh.
b.
Akan mampu mewakili berbagai kepentingan di
dalam Parpol itu sendiri., istilahnya bagi hasil nantinya jika sudah
menang. Mungkin keuntingan koalisi ini hanya mengarah kepada kepentingan
parpol itu saja.
c.
Dengan adanya koalisi kemungkinan partai koalisi
akan mendukung jalannya pemerintahan, sehingga tercipta kerja sama yang baik
untuk kemajuan bangsa.
Kerugian adanya
koalisi :
Sudah jelas jika koalisi yang sudah dibahas, maka setelah
parpol koalisi menang tentu kursi jabatan akan di bagi juga, yang
mengkawatirkan adalah mereka lupa kepada kewajiban mereka untuk mengabdi kepada
bangsa ini, karena mereka hanya sibuk dengan urusan menjaga keutuhan di dalam
kubu koalisinya. mereka sibuk memenuhi janji-janjinya kepada partai yang
berkoalisi itu. jadi sisi kepentingan partai terlalu domianan.
Tidak semua koalisi bersifat permanen, tapi malah setelah
berjalannya pemerintahan, partai ini melepaskan diri dari koalisi sehingga itu
akan menyebabkan kurangnya dukungan terhadap pemerintahan yang ada.
2.5 Sejarah Koalisi Di Indonesia
Tahun 1999 ada koalisi yang disebut Poros Tengah,
yang dimotori PAN dan PPP guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4.
Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi. Masyumi
sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai parpol. Pada tahun
1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Partai
Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi
Masyumi – PSI, tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan tahun 1952-1953
(Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi – PNI. (Alfian, 1981; Ricklefs, 2005;
Mashad, 2008; Kiswanto, 2008).
Secara umum koalisi yang berlangsung pada masa Orde
Lama (Orla) bersifat front, seperti koalisinya Partai Nasionalis Indonesia
(PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Nahdlatul Ulama (NU) bekerja sama
untuk melawan musuh bersama, imperialisme. Di pihak lain ada juga parpol dan
ormas yang bekerja sama dengan militer yang kontrarevolusi dan mendukung
imperialisme. Hal terpenting yang menjadi ciri koalisi pada masa Orla adalah
kerja samanya sama sekali tidak terkait dengan kepemimpinan seseorang, tetapi
lebih pada tujuan.
Pada masa Orba, koalisi terjadi di bawah
kepemimpinan negara. Walaupun pada saat itu yang terjadi sebenarnya bukan
koalisi melainkan peleburan parpol dan juga ormas yang dipaksakan oleh
pemerintah di bawah Presiden Soeharto. Peleburan ini efektif dilakukan setelah
pelaksanaan Pemilu 1971, dimana dari sembilan partai politik yang ada,
dikerdilkan menjadi tiga kekuatan politik saja. Yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), gabungan dari partai-partai Islam dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI), gabungan dari partai-partai berhaluan nasionalis dan agama
non-Islam, serta Golong Karya (Golkar). Ini mengindikasikan bahwa PPP mewakili
konstituen Islam, PDI mewakili konstituen nasionalis, sedangkan Golkar yang
merupakan partai rezim Orba mewakili semua golongan dan juga militer.
Setelah tumbangnya Orba membuat jumlah parpol
peserta pemilu 1999 tak hanya tiga parpol, ada 48 parpol yang terdaftar sebagai
peserta pemilu. Pada era ini, koalisi pragmatis terjadi di Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memilih presiden dan wakil presiden
(wapres). Untuk mengganjal Megawati dan Baharuddin Jusuf Habibie sebagai
presiden, sejumlah tokoh islam yang diprakarsai Amien Rais membentuk poros
tengah. Poros ini mengajukan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden
(capres) alternatif di luar Mega dan Habibie. Melalui pemilihan di MPR, upaya
poros tengah tersebut akhirnya berhasil. Gus Dur terpilih sebagai presiden,
sedangkan Megawati sebagai wapres. Namun usia kesolidan Poros Tengah tidak
berlangsung lama, penyebab utamanya tidak meratanya pembagian kue kekuasaan.
Kemudian tahun 2004 terbentuk Koalisi Kebangsaan
untuk mendukung pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri–Hasyim Muzadi
dan Koalisi Kerakyatan untuk mendukung pasangan capres–cawapres Susilo Bambang
Yudhoyono–Jusuf Kalla. Tetapi, kedua koalisi ini pun dalam perkembangannya
tidaklah solid bahkan cenderung mencair.
Terlepas dari berbagai regulasi mengenai koalisi
point penting terhadap masalah ini adalah sejauh mana para pemimpin bangsa
sungguh-sungguh bertanggung jawab dan berpihak kepada aspirasi dan kepentingan
rakyat, dan hal tersebut barangkali masih merupakan pertanyaan besar.
Begitupula, kualitas demokrasi dan tata-pemerintahan mungkin masih memerlukan
waktu untuk mengevaluasi dan menilainya.
2.6 Peranan
Parpol Koalisi Dalam Pembangunan Bangsa Indonesia Pada Pemerintahan Presiden
Jokowi
Sistem presidensial di Indonesia menjadi menarik
untuk diperbincangkan karena sekaligus menerapkan sistem multipartai. Sejak
Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensial Indonesia beralih
dari sistem kepartaian dominan (dominant party) menjadi sistem kepartaian
majemuk (multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan
purifikasi sistem pemerintahan presidensial (Isra, 2009).
Presiden dan anggota DPR dipilih langsung oleh
rakyat, yang berarti Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, atau
sebaliknya. Posisi yang seimbang ini di tujukan agar terjadi keseimbangan dalam
pemerintahan. Namun pemerintahan menjadi kontra produktif ketika mayoritas
anggota DPR menentukan pilihan politik yang berbeda dengan Presiden.
2.6.1 Polemik parpol koalisi di Indonesia
Kekhawatiran sulitnya menyandingkan multipartai
dengan sistem presidensial dikemukakan sejumlah ahli, diantaranya Scott
Mainwaring10 (1993) mengatakan bahwa kombinasi dari sistem multipartai dan
sistem presidensial kurang kondusif untuk stabilitas demokrasi karena dengan
mudah menciptakan kesulitan dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif
karena kedua-duanya sama-sama dipilih dan mendapatkan mandat langsung oleh
rakyat. Bahkan, Bagir Manan11 menyatakan bahwa tidak seharusnya koalisi
dilakukan di Indonesia. Koalisi itu menurutnya menyebabkan kerancuan sistem
pemerintahan di Indonesia.
Dalam pandangan Maurice Duverger (1954), koalisi
suatu pemerintahan tidak cocok untuk membangun pemerintahan yang efektif dan
stabil. Dalam pandangan dia, suatu pemerintahan yang stabil membutuhkan
prasyarat sistem dua partai itu. Hal ini didasarkan pada pengalaman Amerika Serikat
dan negara-negara Eropa.
Meski demikian, pandangan Duverger ditolak Arend
Lijphart (1977). Berdasarkan studi seriusnya di Belanda, Lijphart berpendapat,
masyarakat plural yang menganut sistem multipartai bisa memiliki sistem
pemerintahan demokratis yang stabil saat mereka mengembangkan demokrasi
konsensus (consociational democracy). Masalahnya, sejarah politik Indonesia
juga mencatat, bangunan demokrasi konsensus melalui koalisi itu selama ini
belum efektif. Pada 1950-an, pemerintahan koalisi tidak berlangsung lama.
Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh, dalam tulisan “Government Coalitions and Legislative Succes Under Presidentialism and Parliamentarism” juga mencatat banyak pendapat yang meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam sistem multipartai.
Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh, dalam tulisan “Government Coalitions and Legislative Succes Under Presidentialism and Parliamentarism” juga mencatat banyak pendapat yang meragukan kelangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam sistem multipartai.
Oleh karena itu, untuk menjaga suara di DPR maka
Presiden melakukan koalisi dengan sejumlah partai. Imbalan dari dukungan partai
koalisi di legislative itu adalah ditempatkannya sejumlah orang petinggi partai
koalisi di Kabinet Eksekutif dengan pembagian (biasanya) berdasarkan persentase
suara di DPR. Namun, koalisi partai tersebut tidak membuat masalah menjadi
lebih mudah. Sebagaimana diutarakan Scott Mainwaring, bahwa pembentukan koalisi
dalam sistem presidensial jauh lebih sulit dibandingkan koalisi dalam sistem
parlementer. Kesulitan itu terjadi karena dalam sistem presidensial, koalisi
secara kelembagaan tidak diperlukan dan sistem presidensial tidak kondusif
untuk kerjasama politik, kalaupun terbentuk koalisi dalam sistem presidensial
lebih rapuh (vulnerable) dibandingkan dengan koalisi dalam sistem parlementer.
Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri sampai era SBY-JK praktik sistem presidensial di
Indonesia selalu menghadirkan minority government. Sebagaimana diketahui, hasil
Pemilu 1999 tidak menghasilkan partai politik pemenang suara mayoritas di DPR
(juga di MPR). Sebagai pemenag pemilu, PDI Perjuangan (PDI-P) hanya memperoleh
153 kursi (33,7%) dari 500 kursi DPR. Dengan hasil itu, hampir mustahil bagi
PDI-P meloloskan ketua umumnya menjadi presiden tanpa dukungan partai politik
lain. Ironisnya, kata Syamsuddin Haris, hampir tidak ada inisiatif politik dari
Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI P –sekaligus calon presiden yang
direkomendasikan oleh Kongres PDI-P di Bali-- untuk menggalang dukungan dan
kerja sama politik dengan partai politik lain di luar PDIP.
Sikap percaya diri PDI-P dan Megawati Soekarnoputri
mendorong elit politik partai politik berbasis Islam dan berbasis ormas Islam
seperti PPP, PAN, PBB, dan Partai Keadilan (PK) yang dirancang oleh Ketua Umum
PAN Amin Rais membentuk koalisi yang dikenal sebagai Poros Tengah. Sebagai calon
alternatif di luar B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri, Poros Tengah
mengusung Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Langkah Poros menjadi lebih
mudah karena laporan pertanggungjawaban B.J. Habibie ditolak oleh MPR dalam
Sidang Umum MPR pada bulan Oktober 1999. Ketika Poros Tengah berhasil mendorong
Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, koalisi menjadi pilihan tak terhindarkan
dan koalisi semakin besar dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri menjadi
Wakil Presiden. Bagaimanapun koalisi yang dibangun presiden yang tidak punya
dukungan mayoritas di lembaga legislatif dapat dikatakan sebagai sebuah langkah
darurat.
Langkah darurat itu pula yang dilakukan Presiden SBY
sebagai presiden minoritas (minority president sekaligus menghasilkan praktik
sistem pemerintahan presidensialyang minority government) dengan hanya didukung
modal awal 12 persen suara di DPR. Untuk memperbesar dukungan di DPR, SBY-JK
merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat, PBB dan PKPI, yaitu
PKS, PPP, PAN, Partai Golkar, dan PKB. Sekalipun berdasarkan Pasal 17 UUD 1945
pengangkatan menteri negara merupakan hak prerogatif Presiden, sebagaimana
kecenderungan koalisi dalam sistem presidensial yang dikemukakan Cheibub
sebelumnya, langkah yang dilakukan Presiden SBY adalah membagi jabatan menteri
kepada sejumlah partai politik yang menjadi bagian dari koalisi SBY-JK.
Namun langkah itu tetap tidak mengehentikan
ketegangan antara Presiden Yudhoyono dengan DPR. Bahkan, ketegangan Presiden
Yudhoyono dan DPR sudah terjadi sejak bulan-bulan pertama masa pemerintahan
Yudhoyono. Dengan ketegangan itu, koalisi yang dibangun Presiden Yudhoyono
tidak banyak membantu memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di DPR. Masalah
itu diakui secara terbuka oleh Presiden Yudhoyono bahwa dengan merangkul banyak
partai politik, logikanya, setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan
DPR. Nyatanya, dukungan itu tidak terjadi. Dukungan yang dimaksudkan Presiden
Yudhoyono tersebut tidak hanya kebijakan dalam fungsi legislasi, tetapi untuk
kebijakan non-legislasi.
2.6.2 Parpol Koalisi Pemerintahan Jokowi
Koalisi partai merupakan proses interaksi simbolik,
di mana simbol yang dipertukarkan dalam hal ini adalah visi dan misi partai
yang saling disesuaikan untuk mencapai kesepakatan bersama. Kesepakatan
ini mengarah pada adanya kontrak politik, di mana dalam koalisi juga ditetapkan
pembagian jatah kursi kekuasaan. Kelompok Jokowi memunculkan impresi koalisi
yang dibangun atas dasar profesionalitas. Jokowi yang dicitrakan sebagai sosok
nasionalis dan pluralis akan terus diserang dengan isu agama.
Walaupun PKB berada bersama Jokowi, basis massa PKB
adalah golongan moderat yang tidak terlalu menanggapi perbedaan agama, sehingga
tidak cukup mampu memunculkan citra Jokowi sebagai muslim sejati versi
pandangan kaum puritan. Namun kita belum dapat menduga manuver politik
apa yang akan dilakukan oleh PDI-P dan rekan koalisinya.
Koalisi tidak berarti penggabungan ideologi,
melainkan hanya bentuk fisiknya saja, sehingga dapat dikatakan bahwa koalisi hanya
bersifat momentum semata atau insidental, lebih jauh lagi koalisi tidak
bersifat menetap. Walaupun demikian koalisi
tidak berarti terjadinya power sharing, karena hal itu sangat
bergantung pada sistem pemerintahan yang dianut, sehingga koalisi akan sangat
bermanfaat jika sistem pemerintahan yang dipakai adalah sistem parlementer,
tetapi akan sangat bergantung pada presiden terpilih jika sistem yang dipakai
adalah sistem presidensial.
Koalisi dilakukan dengan sistem multi partai dengan
harapan terjadi penggabungan suara pemilih, hal itu berakibat koalisi dilakukan
dengan tujuan terjadinya sharing kekuasan jika presiden terpilih dari
koalisi tersebut. Sistem proporsional yang dilakukan menyebabkan sewaktu pemilu
untuk memilih legislator partai-partai politik tersebut bisa saja bertentangan,
tetapi sewaktu koalisi untuk pemilu presiden mereka bergabung dengan tujuan
untuk power sharing. Akibatnya koalisi yang terjadi lebih bersifat untuk
mencari dan mempertahankan kepentingan.
Bagi parpol, sebuah
koalisi akan menjadi suatu penyatuan kekuatan, ibarat sapu lidi yg satu demi
satu setelah digabung menjadi satu akan kuat dan kokoh, mampu mewakili berbagai
kepentingan di dalam Parpol itu sendiri, dan banyak mendukung jalannya
pemerintahan, sehingga tercipta kerja sama yang baik untuk kemajuan
bangsa. Tapi, ketika parpol koalisi menang, tentu kursi jabatan akan di
bagi juga, yang mengkawatirkan adalah mereka lupa kepada kewajiban mereka untuk
mengabdi kepada bangsa ini, karena mereka hanya sibuk dengan urusan menjaga
keutuhan di dalam kubu koalisinya, dan tidak memenuhi janji-janjinya kepada
partai yang berkoalisi itu. Tidak semua koalisi bersifat permanen, tapi malah
setelah berjalannya pemerintahan, partai ini melepaskan diri dari koalisi
sehingga itu akan menyebabkan kurangnya dukungan terhadap pemerintahan.
Secara ideologis, partai politik pada
umumnya menggunakan “Pancasila” sebagai ideologinya. Ideologi ini adalah
ideologi negara yang seringkali diadopsi dan ditempelkan pada atribut-atribut
tertentu seperti agama.
Partai politik di Indonesia saat ini
memiliki ciri yang mirip dengan partai politik di Filipina. Ciri tersebut
antara lain: lemahnya program politik, tingginya tingkat perpindahan
kader dari satu partai ke partai lainnya (biasanya disebut sebagai kutu loncat
dalam bahasa media massa), koalisi singkat bergantung pada momentum
politik, partai hanya aktif pada masa pemilu, kepemimpinan politik
berjarak antara elit dan massa (Rocamora 2000; Arlegue Coronel 2003; Tee-hankee
2006). Kelemahan tambahan bagi partai politik di Indonesia adalah lemah secara
organisasional dan rentan secara ketokohan karena sangat bergantung
terhadap figur (Liddle, Mujani. 2006)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Partai politik merupakan Sarana politik yang
menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam
suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform
atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok
dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai
suprastruktur politik.
Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau
aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki
kepentingan sendiri-sendiri. Pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian
usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh
suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan
bangsa (nation building)”.
Sebuah koalisi akan menjadi suatu penyatuan
kekuatan, ibarat sapu lidi yg satu demi satu setelah digabung menjadi satu akan
kuat dan kokoh, mampu mewakili berbagai kepentingan di dalam Parpol itu
sendiri, dan banyak mendukung jalannya pemerintahan, sehingga tercipta kerja
sama yang baik untuk kemajuan bangsa. Tapi, ketika parpol koalisi menang,
tentu kursi jabatan akan di bagi juga, yang mengkawatirkan adalah mereka lupa
kepada kewajiban mereka untuk mengabdi kepada bangsa.
3.2 Saran
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa sistem presidensial
multipartai yang terjadi di Indonesia nerupakan bagian dari proses demokratisasi
pasca Orde baru, sehingga koalisi merupakan wadah sementera yang dibentuk
untuk melakukan konsolidasi ulang kekuasaan yang tersebar. Koalisi partai
politik tidak dapat diharapkan sebagai instrumen stabilitas, melainkan
lokalisasi atau pewadahan bagi perseteruan politik dalam mekanisme multipartai.
Para pengamat politik di era reformasi atau era demokratisasi ini harus segera
menanggalkan pandangan Statism (Negara
Sentrist) untuk memahami proses demokratisasi dan fenomena ketidakutuhan dari
sistem demokrasi itu sendiri.
Pada
akhirnya, bukan koalisi partai politik yang seharusnya dipersoalkan namun lebih
mendasar lagi fungsi partai politik yang harus kembali dipermasalhkan dan
direkonstruksi ulang melalui paradigma demokratis agar pembangunan di segala
bidang dapat berjalan sesuai dengan cita-cita Pancasila.
No comments:
Post a Comment